Sebelumnya aku tidak pernah tahu seperti apa ciuman, seperti apa bercinta, dan seperti apa menjadi wanita cantik. Orang-orang kampung memang memujaku sebagai gadis paling cantik di kampung ini. Bahkan hampir setiap laki-laki di kampung ku bermimpi menikahi ku kelak nanti. Tapi, aku tidak pernah merasa lebih cantik seperti sekarang. Sekarang aku bahkan dipuja lebih dari sebelumnya, aku diberi kemesraan dan kemewahan dalam diriku.
Aku bertemu dengannya ketika dia datang ke kampung ku dan meminta izin membuka sebuah usaha di sini. Tentu saja kedatangan tamu dari kota merupakan sebuah kebanggaan besar bagi warga kampung kami seperti kami. Maka, segala persiapan untuk penyambutan pun dilakukan, dan aku ditunjuk untuk menjadi penari utama dalam tarian penyambutan menurut adat kami. Kami memang harus selalu memberi sebuah penghargaan besar bagi para tamu yang datang, karena menurut adat Dayak Kanayatn, tamu adalah raja selama mereka tidak melanggar adat kami.
Setelah pertemuan pertama itu, aku langsung jatuh hati padanya. Pria berkumis tipis dan rapi seperti ini sangat menarik hati para gadis di kampung, tak terkecuali aku. Aku pun merasakan kalau dia juga menaruh hati pada ku, dan itu pasti. Sejak lima hari kedatangannya, kami pun mulai menjalin hubungan. Hubungan itu terasa indah di hari-hari pertama kami menjalaninya.
“Apa Adik bersedia jika nanti Abang jadikan istri?” Tanyanya suatu malam
Aku terdiam mendengar ucapannya, sungguh hatiku berdetak begitu kencang saking kagetnya.
“Kenapa diam? Apa Adik tidak bersedia?” Tanyanya lagi
Lagi-lagi aku hanya memandang matanya tanpa bersuara,
“Atau Adik menganggap Abang tidak serius?” Dan dia bertanya lagi
Aku memainkan bibirku, “hm…Adik, hm..apa tidak terlalu cepat untuk Abang mengambil keputusan? Bukankah kita baru saja mulai pacaran?” Aku balik bertanya
Dia menggenggam jariku. “Adik tak usah khawatir, meski baru sebentar tapi Abang sudah sangat mencintai Adik. Abang ingin menjadikan Adik sebagai istri Abang, kalau Adik mau Abang akan meminta izin sekarang juga pada Bapak dan Mamak..” Katanya
“Jangan Bang!” Aku segera menahannya. “Bapak pasti tidak akan setuju, apalagi Abang adalah orang asing di sini. Paling tidak biarkan Bapak mengenal Abang lebih dalam lagi sekarang..” Nasihatku padanya
“Tapi, Abang sudah tidak tahan ingin menjadikan Adik istri, Abang ingin sekali segera mencium Adik..” Rayunya
“Maksud Abang itu apa mencium..??” Tanya ku dengan polosnya
“Hm, Dik..di tempat Abang kalau orang sudah pacaran mereka pasti berciuman,”
“Jadi Abang sudah pernah melakukannya?”
“Memangnya kamu belum pernah?”
Aku hanya menggeleng pelan atas pertanyaannya
Dia terkekeh sebentar, “apa benar belum pernah Dik?” Dia bertanya meyakinkan diri
Lagi-lagi aku menggeleng dengan polosnya
“abang ajarin mau?” tawarnya padaku yang langsung mengernyitkan kening. “rasanya nikmat kok dik, pokoknya adik tidak akan merasa rugi setelah mencobanya..”
Aku hanya menggigit bibirku, jujur saja yang namanya ciuman jauh dari khayalanku selama ini. Melihatnya saja aku masih belum pernah. Namun sepertinya dia benar, aku mungkin tidak akan rugi untuk mencoba sesuatu yang baru. Aku pun akhirnya mengangguk pelan.
“nanti adik ikuti saja permainan abang,” lagi-lagi aku hanya mengangguk. Dan aku tidak pernah tahu sejak kapan bibir kami bertemu dan kami saling mencium. Benar, aku begitu menikmatinya. Malam itu berakhir dengan bahagia di hatiku.
Aku masih belum mengizinkannya untuk bicara ada bapak tentang rencana dia akan meminangku. Aku masih ragu bapak mau menerima dia dengan baik, apalagi usaha yang baru akan dia mulai di sini sepertinya terjadi permasalahan mengenai tanah dengan warga kampong. Maka aku dan dia bercinta di balik pengetahuan bapak. Dan mungkin itulah kesalahanku, aku menempatkan cinta pada laki-laki yang belum aku kenal asal-usulnya. Aku pun mengiyakan ajakannya untuk bercinta malam itu di bawah pohon rambutan. Aku merasa bahagia, karena aku yakin dia akan menikahiku.
Namun,
Hari itu hatiku benar-benar hancur berantakkan seperti terkena petir. Saat aku akan memberitahunya bahwa sepertinya aku hamil. Beberapa petugas kepolisian dating dari kota dan langsung menangkapnya. Menurut keterangan polisi, dia adalah satu di antara pengusaha ganja yang menjadi buronan polisi selama ini. Dia memang sengaja masuk ke kampong-kampung yang jauh dari perkotaan agar lebih aman untuk menanam ganja. Hal itu membuat para tetua adat di kampong ku meledak amarahnya. Mereka hamper saja melakukan hukuman sesuai adat istiadat kampong kami padanya dan rekan-rekannya. Untung saja polisi berhasil bicara pada mereka.
Dia pergi tanpa menoleh padaku, dia juga tidak meminta maaf padaku. Dia tidak mencintaiku seperti yang dia katakana selama ini. Dia hanya memanfaatkanku untuk kepuasaannya selama ini. Jadi, apa arti bayi yang ada di perutku saat ini baginya? Aku tidak bisa apa-apa selain menangis di kamar ku. aku bingung akan berkata apa pada bapak. Aku harus bilang apa pada para tetua kampong tentang semua ini? Aku takut aku akan dihukum, aku tidak mau diusir dari kampong ini. Aku tidak mau orang-orang menertawakanku.
Beberapa hari kemudian kampong kami di terjang angin besar dan hujan yang begitu deras. Matahari seakan-akan tidak mau menampakkan wajahnya pada kami, sehingga kami harus menyalakan pelita juga di siang hari karena kegelapan yang begitu pekat. Pada hari ketiga akhirnya para tetua dan kepala rumah tangga berkumpul untuk membahas kejadian ini. Karena menurut kepercayaan kami, hal ini adalah pertanda bahwa nenek moyang kami sedang marah. Dan mereka akan mencari tahu apa penyebab kemarahan para roh itu.
Tong…tong….tong…..!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Suara kentongan pertanda masyarakat harus berkumpul terdengar nyaring. Dengan terburu-buru masyarakat segera mendatangi rumah panjang kampong kami. Di sana telah menunggu para tetua dengan wajah yang begitu menakutkan.
“adil ka’ talino ba’ sengat ka’ jubata ba’ curamin ka saruga..” terdengar suara temanggung membuka pertemuan
“auk..” sahut masyarakat
“kita berkumpul di sini pasti ada masalah serius yang kita hadapi. Kalian semua pasti sudah tahu apa yang akan kita bicarakan saat ini berkaitan dengan bencana yang menimpa kita tiga hari ini.” Beliau berhenti sejenak. “ada dari kalian para anak muda yang melakukan kesalahan dan pelanggaran berat, apakah kalian mau mengaku atau kalian akan kami panggil?” lanjutnya langsung pada inti pembicaraan
Deg!! Jantung ku terasa tertikam. Aku tahu mereka tahu apa yang terjadi, tapi aku takut. Aku takut untuk menghadap mereka, takut dengan hinaan para pemuda kampong, takut dengan bapak dan mamak, juga aku takut pada hukuman yang akan diberikan nanti. Aku menundukkan kepalaku sedalam mungkin, berharap mereka tidak tahu keberadaanku.
“dara..!”
Mereka memanggilku, mereka memanggilku! Pekik hatiku. Aku semakin berkeringat dingin, aku membenamkan kepalaku lebih dalam lagi. Air mata mulai merembes membasahi wajah dan baju ku. tanpa di beri tahu apa yang terjadi padaku kicauan suara-suara terkejut dan marah bercampur menghina langsung terdengar di telinga ku. aku mendengar suara tangis pecah di belakang ku, ku yakin itu mamak. Aku hanya pasrah.
Hukuman bagi perempuan yang hamil di luar nikah seperti diriku, dalam adat kami harus menjadi orang buangan dan pelayan penunggu gunung keramat di kampong kami. Tidak ada teman, tidak ada kunjungan, tidak ada makanan, tidak ada pakaian. Aku hanya akan dibekali sebungkus nasi dan sebuah kain. Selebihnya akan aku peroleh di sana. Mamak tidak ada bersamaku saat aku dihantar temanggung dan juru kunci ke atas gunung. Bapak bahkan tidak memandang ku saat aku melangkah pergi.
Aku sudah berdosa pada mamak, pada bapak, pada Tuhan, pada orang-orang di kampong ku. aku ingin sekali mendapat kesempatan bertobat, tidak ingin menambah dosa dengan mempersembahkan diri pada makhluk yang tidak aku kenal. Namun, aku juga tidak mau mati di rajam orang-orang kampong karena hinaan yang telah aku lakukan. Aku harus memilih untuk pergi, meski aku tidak
tahu apa aku bisa kembali lagi atau aku akan mati.
Semakin jauh aku melangkah, semakin terasa sunyi. Hanya suara angin dan kicauan burung keto yang menyambutku. Hutan itu begitu gelap, begitu lebat dan menyeramkan. Namun aku tidak lagi sempat memikirkan semua itu. Kulanjutkan langkahku hingga akhirnya aku menemukan sebuah sungai. Ku ikuti aliran sungai dengan harapan akan bertemu orang atau jalan kembali ke kampong. Akhirnya benar, aku bertemu seorang pemuda berpakaian sedikit aneh. Ketika dia mengenalkan namanya aku pun tak mampu berbuat apa-apa lagi. Dia adalah penunggu gunung ini, makhluk yang harus aku layani.
Selasa, 21 Juni 2011
Surat Seorang Sahabat dari Mhay, 2007
Maaf, aku tak bisa mengerti dirimu,
Yang pasti aku tahu kau sedih sekali..
Mungkin sesedih aku saat aku tak bisa begitu sering bertemu mama, papa
dan adikku karena terpisah jarak dan waktu.
Mungkin sesedih aku ketika dulu harus kehilangan sahabat
dan melihat kau begitu jauh dariku.
Mungkin sesedih aku ketika aku telah jatuh cinta pada orang yang salah
dan itu terjadi berulang-ulang.
Atau mungkin lebih dari itu,
Karena aku susah sekali mengerti dirimu…
Maaf.
Aku tak mau memberi banyak nasihat,
Hanya ingin memberi surat yang tak berarti ini,
Tapi dibalik kesederhanaannya,
Aku telah menyelipkan seratus ribu senyum,
Telah menyisipkan sejuta tawa
Dan menitipkan berjuta-juta suka cita.
Jadi, sekiranya dirimu membacanya
(meski aku tahu kau tak suka dikirimi surat)
Kau dapat merasakan kebahagiaan sama seperti ketika aku menulisnya
dengan penuh kebahagiaan tanpa alasan.
Setiap kalimat yang tertulis, ingat wajahku yang imut, cantik
dan penuh damai… ^_^..
Aya, ‘08
Yang pasti aku tahu kau sedih sekali..
Mungkin sesedih aku saat aku tak bisa begitu sering bertemu mama, papa
dan adikku karena terpisah jarak dan waktu.
Mungkin sesedih aku ketika dulu harus kehilangan sahabat
dan melihat kau begitu jauh dariku.
Mungkin sesedih aku ketika aku telah jatuh cinta pada orang yang salah
dan itu terjadi berulang-ulang.
Atau mungkin lebih dari itu,
Karena aku susah sekali mengerti dirimu…
Maaf.
Aku tak mau memberi banyak nasihat,
Hanya ingin memberi surat yang tak berarti ini,
Tapi dibalik kesederhanaannya,
Aku telah menyelipkan seratus ribu senyum,
Telah menyisipkan sejuta tawa
Dan menitipkan berjuta-juta suka cita.
Jadi, sekiranya dirimu membacanya
(meski aku tahu kau tak suka dikirimi surat)
Kau dapat merasakan kebahagiaan sama seperti ketika aku menulisnya
dengan penuh kebahagiaan tanpa alasan.
Setiap kalimat yang tertulis, ingat wajahku yang imut, cantik
dan penuh damai… ^_^..
Aya, ‘08
Langganan:
Postingan (Atom)