Rabu, 27 Juli 2011

Annyeong Indonesia

Beberapa waktu lalu Aku dan temanku terbius oleh boyband korea “Super Junior”. Entah kenapa tiba-tiba kami berdua sepertinya tidak akan bisa tidur pulas kalau hari itu tidak menonton dan menemukan info bahkan video terbaru tentang anak-anak SuJu. Padahal jauh sebelumnya banyak boyband Korea yang sudah Aku miliki video dan lagu-lagunya. Tapi virus menggila tentang korea benar-benar menjangkiti kami. Hingga akhirnya seseorang menulis tentangku di status Facebooknya “Kamu gila karena Korea!!”. Dan status menyakitkan itu ampuh menyembuhkan virus Korea—tapi bukan berarti aku langsung anti Korea—di hari-hariku.

Dan kurasa bukan hanya Aku yang menjadi gila karena Korea, tapi hampir semua remaja bahkan kutemukan orang-orang dewasa pun terbius dengan Korea. Apalagi saat ini satu di antara stasiun TV menampilkan drama Korea nyaris enam jam setiap harinya. Kemudian stasiun lainnya memunculkan tampilan boy/girl band Korea juga. Jadinya aku merasa Korea tidak lagi nun jauh di sana, tapi dia sudah ada di Indonesia. “Annyeong (hai/halo) Indonesia..” sapanya pada anak-anak Indonesia.

Aku pikir tidak masalah jika kita mengenal lagu atau menonton film-film luar negeri, khususnya Korea. Terlebih lagi Aku satu di antara penggemar Korea meski tak segila kemarin. Namun, pemandangan memuakkan timbul ketika sederet anak-anak Indonesia bermunculan dengan boy/girl band, pakaian, dandanan, dan bahasa ala Korea. Ku akui Aku juga belajar bahasa Korea tapi, maaf Aku bukan penjiplak seperti mereka. Apa Aku salah?

Menurut KBBI penjiplak adalah seseorang yang mencuri, meniru, mengambil, mencontek sesuatu dari orang lain. Berdasarkan pengertian tersebut, apakah salah jika Aku mengatakan anak muda Indonesia penjiplak? Aku beberkan beberapa realita yang menjadi alasan mengapa aku berpendapat seperti itu. Model pakaian sekarang celana rok/celana mini dengan baju/jaket kebesaran, bahasa dan tulisan baik di buku atau Facebook menggunakan huruf kanji atau bahasa Korea, tarian boy/girl band ala Korea, karakter tokoh di film-film ala Korea juga, bahkan saking ekstrimnya segala informasi mengenai Korea dengan mudah ditemukan di blog-blog mereka, sedangkan tentang Indonesia dan kebudayaannya sangat sedikit mereka cantumkan di blog.

Bedanya dengan sekedar mengidolakan adalah hanya mengagumi sesuatu tanpa harus atau menjadi serupa dengan sesuatu atau seseorang tersebut. di awal telah kukatakan, tidak salah jika kita menyukai lagu atau film-film Korea. Tapi hal itu disebut kesalahan jika kita berusaha menjadi seperti mereka dan akhirnya lupa pada kehebatan budaya yang kita miliki. Kebiasaan buruk ini bagai penyakit keturunan yang tak kunjung sembuh.

Banyak dari anak muda penjiplak mengawali karir menjiplak mereka melalui pergaulan dan tontonan. Kelemahan anak Indonesia adalah tidak ada kebanggaan akan diri sendiri, dan merasa hebat jika mampu bertransformer menjadi seperti apa yang mereka lihat (ikut-ikutan orang Korea misalnya). Pergaulan di dukung oleh media-media membuat mereka menjadi jarum suntik virus Korea bagi anak lainnya. Dan penyebaran pun merajalela perlahan mengikis kekreatifitasan anak Indonesia.

Anak muda Indonesia sebenarnya punya banyak modal untuk menjadi idola, bukan sekedar pengidola. Lewat batik kita dapat memunculkan kembali busana dan aksesoris khas Indonesia. Sanggar-sanggar dapat menampilkan tarian khas Indonesia versi modern, dan kreatifitas lainnya. Kreatifitas itu dapat mengubah “annyeong Indonesia” menjadi “hai Korea.”

Kebiasaan buruk jika dipertahankan akan menjadi suatu penyakit yang menggerogoti kebiasaan baik. Ketika kebiasaan baik terkikis, segala kekayaan dan kemampuan yang kita miliki pun hilang. Jika diibaratkan, kita bagai tikus yang mati di lumbung padi. Artinya kita menjadi miskin dalam kekayaan yang kita punya. Aku yakin, Aku dan anak Indonesia tidak mau menjadi tikus-tikus yang mati di lumbung padi tetapi bersorak-sorai di lumbung padi.

Kampus Bukan Rumah Bapakmu!

Kekecewaan timbul ketika memasuki satu di antara kampus di Pontianak. Ternyata mahasiswa hanya sekedar duduk santai di parkiran, kantin, lorong-lorong kelas, sekre (sekretariat HIMA/UKM), bahkan di taman-taman kampus. Padahal sebagian dari teman-teman mereka sedang berada di kelas mengikuti perkuliahan. Entah apa saja yang mereka perbincangkan, atau entah kenapa mereka betah berlama-lama di depan laptop dan mengobrol ria di Facebook. Dan entah bagaimana kampus yang seharusnya sebagai tempat menimba ilmu beralih menjadi rumah tongkrongan bagi mereka.

Pemandangan seperti itu memang bukan kasus baru di kalangan mahasiswa. Saya berpendapat bahwa hal ini juga terjadi di kampus mana pun di Indonesia. Sedari dulu yang namanya mahasiswa bandel pasti ada. Namun yang menimbulkan persoalan adalah, kasus tersebut semakin memuncak. Terlebih saat ini kampus-kampus memiliki jalur internet yang membuat mahasiswa tidak perlu repot pergi ke warnet untuk mengunjungi Google. Ditambah pihak kampus membangun taman untuk memudahkan mahasiswa jika ingin mengerjakan tugas sembari menunggu jam selanjutnya. Fasilitas yang diberikan pihak kampus untuk membantu mahasiswa berkembang justru disalahgunakan. Mereka dengan suka hati menggunakan fasilitas tersebut seakan-akan kampus menjadi rumah Bapaknya.

Keasyikan dengan fasilitas dan kenyaman tersebut membuat mereka melupakan tujuan awal mengapa mereka berada di kampus. Seseorang yang disebut mahasiswa masih memiliki kewajiban yaitu kuliah, belajar. Mahasiswa seharusnya seseorang yang telah terbentuk kekritisan dan kedewasaan pikirannya. Mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan bertanggung jawab dengan kewajiban mereka. Tetapi fakta yang terjadi adalah mahasiswa tidak berbeda jauh dengan siswa SMP/SMA. Mereka masih harus diatur oleh dosen atau bahkan orang tua untuk menjalankan kewajiban mereka.

Mereka memang setiap hari ke kampus, menggunakan kemeja rapi dan membawa tas serta laptop. Tapi lihat saja, berapa banyak mahasiswa yang memasuki kelas? Berapa jumlah mahasiswa yang tertinggal di parkiran, berbelok ke kantin, atau malah keterusan ke sekre? Pepohonan dan dinding kantin lah yang menjadi saksi biksu kelakuan mereka.

Dan hal yang semakin memiriskan hati adalah hingga saat ini belum ada satu pihak pun (baik dari kampus maupun mahasiswa) yang bergerak mengatasi problema ini. Padahal jika dibiarkan, kebodohan dan kekerdilan pikiran akan menjadi warna baru bagi generasi di Negara ini. Lama kelamaan kampus tidak lagi menjadi wadah pencipta pejuang bangsa. Maka jangan heran bila kita akan terjajah kembali, tentu dalam versi yang berbeda yaitu terjajah oleh kebodohan dan kedegilan hati.

Harapan kedepan adalah terjadinya perubahan dalam diri mahasiswa Indonesia. kebanggaan terbesar Negara ini berada di pundak mereka yang memiliki pemikiran kreatif, kritis, dan inovatif bagi perkembangan bangsanya. Ingatlah, seseorang yang tidak mau dipimpin dia tidak akan pernah menjadi pemimpin.

Dayak Lagi Krisis

Seminggu yang lalu teman dari Jakarta pulang liburan. Kami mengadakan reuni kecil dan menginap beberapa hari di rumah teman. Ada sesuatu yang aneh kurasakan pada dirinya, mulai dari dandanan hingga bahasanya. Setiap kali kami mengajaknya bicara dalam bahasa Dayak, dia selalu menyahuti dengan bahasa ala Jakarta. Hingga esok harinya, ketika kami sedang seru-serunya mengobrol dia berkata, “kamu ini ngaloki (membohongi) aku saja..” sontak kami mengulum senyum menahan geli mendengarnya. Jujur saja, hal itu sangat memalukan bagiku.

Hal di atas bukan hanya terjadi pada temanku, tapi nyaris terjadi pada anak-anak Dayak lainnya. Saat ini kebanggaan sebagai anak Dayak semakin menipis. Bahkan tragisnya untuk berbahasa dan mengakui jati dirinya saja mereka nyaris tidak mau. Hal tersebut seakan-akan suatu penyakit yang mengerikan. Saking mengerikannya mereka tidak mau hal itu terungkap.

Di Gawai Dayak beberapa waktu lalu, peserta yang mengikuti ajang Bujank Dare sebagian besar bukan dari suku Dayak asli. Mereka tidak dapat menunjukkan kemampuan berbahasa Dayak yang benar. Mereka juga tidak dapat menggambarkan kebudayaan suku ini. Bukankah itu fakta yang sangat memprihatinkan? Bagaimana bisa warisan adat, budaya terbesar yang menjadi kebanggaan suku Dayak ini, tercoreng hanya karena masyarakatnya meminoritaskan diri?

Krisis kebanggaan ini membuat suku Dayak tidak berkembang hingga sekarang. Tanpa disadari mereka meminoritaskan diri sendiri. Malu untuk berbahasa Dayak menjadi ajang pemusnahan satu di antara budaya yang dimiliki suku tersebut. Padahal telah dinyatakan ada 100 lebih suku Dayak yang tersebar di Kalimantan (belum lagi jumlah suku yang belum diketahui), dan itu membuktikan suku Dayak bukanlah minoritas yang sebenarnya. Suku Dayak juga menjadi abang atau saudara tertua dari suku lainnya. Artinya suku Dayak dihormati oleh suku lain. Lantas, apa yang menyebabkan kekrisisan itu terjadi?

Jika kembali ke beberapa waktu lalu, maka dapat ditemukan penyebabnya. Kekuatan secara mistik yang dimiliki oleh suku ini membuat mereka tidak mau membuka diri terhadap perkembangan dunia. Disinyalir pada awal-awal masa modern, suku Dayak menolak untuk mengikuti perkembangan. Mereka masih berkecimpung dengan adat dan tradisi mereka. Sehingga akhirnya suku-suku lain menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan Kalimantan Barat. Peranan masyarakat Dayak pun semakin tidak terdengar lagi. Jadi, suku Dayak terkena krisis bukan karena ulah suku atau masyarakat lain tetapi disebabkan oleh diri mereka sendiri.

Namun, apakah Dayak berakhir? Tidak. Di tengah-tengah kekrisisan itu, Cornelis, Gubernur Kalimantan Barat saat ini berhasil membuktikan bahwa Dayak masih sanggup mengibarkan peranan mereka bagi masyarakat. Hal ini seharusnya memotivasi para pemuda Dayak untuk bangkit. Belajar berbangga dengan apa yang dimiliki akan memulihkan kekrisisan tersebut. Kedepannya tidak akan ditemui lagi pemuda Dayak yang malu akan bahasa dan budayanya sendiri. Tapi justru mengusung sukunya untuk ikut berperan menjadikan Kalimantan barat sejajar dengan provinsi lainnya.

Untuk menggapai hal tersebut, sanggupkah para pemuda Dayak mempersembahkan kekhasan suku mereka bagi Kalimantan Barat dan lepas dari kekrisisan? Atau justru semakin terjerumus dalam kekrisisan??

Jumat, 22 Juli 2011

pandanganku....

banyak arti tentang sahabat, cinta dan hidup...masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda untuk melihatnya. keunikan setiap manusia membuat begitu banyak makna dari bagian-bagian kehidupan, yang pada akhirnya menjadi pertanyaan yang menguraikan banyak persepsi lagi. membosankan....tapi tanpa adanya pertanyaan dan keberagaman makna hidup ini akan lebih membosankan.

cinta, lebih tepat rasa yang bikin cenat-cenut itu, ibarat daun bagiku.
sepucuk daun tumbuh perlahan dari sebuah ranting, daun itu akan terlihat indah dan hijau jika ranting dan pohon adalah tumbuhan yang bik, tapi dia akan tampak sakit dan kerdil jika berasal dari ranting dan pohon yang tak baik. daun itu akan bersemi hingga saat dia mulai terlihat tua dia akan segera menjatuhkan diri agar daun yang baru bisa muncul lagi sehingga ranting akan berwarna tak akan ikut terlihat tua.
bagiku cinta seharusnya seperti daun, jika mulai tampak tua dan tak menarik segera munculkan cinta yang baru sehingga ketika cinta ada dalam suatu hubungan, tidak akan membosankan karena selalu muncul cinta yang selalu hijau dan bersemi indah di hati para pecinta.

dan hidup...adalah hal terindah yang tak pernah bisa tak disyukuri. hidup penuh warna, memiliki rangkaian perjalanan yang tak pernah sama antara aku, kau, dia, mereka, dan semua manusia lainnya. Tuhan sangat kreatif menciptakan manusia dengan keunikan masing-masing, dengan warna hidup yang tak sama. Tuhan punya tujuan bagi masing-masing kehidupan, maka Dia tidak menciptakan kita sama dengan yang lainnya.

bicara sahabat, jika ditilik lebih jauh, sahabat lebih sering dan lebih banyak mengecewakan dibanding pacar. disakiti sahabat jauh lebih merana dari pada ditinggal pacar. disayangi oleh sahabat jauh lebih indah daripada disayang pacar. sahabat...adalah sisi misterius dalam hidup. dia bisa menjadi madu yang sangat manis, tapi juga bisa menjadi racun yang sangat pahhit!!