Beberapa waktu lalu Aku dan temanku terbius oleh boyband korea “Super Junior”. Entah kenapa tiba-tiba kami berdua sepertinya tidak akan bisa tidur pulas kalau hari itu tidak menonton dan menemukan info bahkan video terbaru tentang anak-anak SuJu. Padahal jauh sebelumnya banyak boyband Korea yang sudah Aku miliki video dan lagu-lagunya. Tapi virus menggila tentang korea benar-benar menjangkiti kami. Hingga akhirnya seseorang menulis tentangku di status Facebooknya “Kamu gila karena Korea!!”. Dan status menyakitkan itu ampuh menyembuhkan virus Korea—tapi bukan berarti aku langsung anti Korea—di hari-hariku.
Dan kurasa bukan hanya Aku yang menjadi gila karena Korea, tapi hampir semua remaja bahkan kutemukan orang-orang dewasa pun terbius dengan Korea. Apalagi saat ini satu di antara stasiun TV menampilkan drama Korea nyaris enam jam setiap harinya. Kemudian stasiun lainnya memunculkan tampilan boy/girl band Korea juga. Jadinya aku merasa Korea tidak lagi nun jauh di sana, tapi dia sudah ada di Indonesia. “Annyeong (hai/halo) Indonesia..” sapanya pada anak-anak Indonesia.
Aku pikir tidak masalah jika kita mengenal lagu atau menonton film-film luar negeri, khususnya Korea. Terlebih lagi Aku satu di antara penggemar Korea meski tak segila kemarin. Namun, pemandangan memuakkan timbul ketika sederet anak-anak Indonesia bermunculan dengan boy/girl band, pakaian, dandanan, dan bahasa ala Korea. Ku akui Aku juga belajar bahasa Korea tapi, maaf Aku bukan penjiplak seperti mereka. Apa Aku salah?
Menurut KBBI penjiplak adalah seseorang yang mencuri, meniru, mengambil, mencontek sesuatu dari orang lain. Berdasarkan pengertian tersebut, apakah salah jika Aku mengatakan anak muda Indonesia penjiplak? Aku beberkan beberapa realita yang menjadi alasan mengapa aku berpendapat seperti itu. Model pakaian sekarang celana rok/celana mini dengan baju/jaket kebesaran, bahasa dan tulisan baik di buku atau Facebook menggunakan huruf kanji atau bahasa Korea, tarian boy/girl band ala Korea, karakter tokoh di film-film ala Korea juga, bahkan saking ekstrimnya segala informasi mengenai Korea dengan mudah ditemukan di blog-blog mereka, sedangkan tentang Indonesia dan kebudayaannya sangat sedikit mereka cantumkan di blog.
Bedanya dengan sekedar mengidolakan adalah hanya mengagumi sesuatu tanpa harus atau menjadi serupa dengan sesuatu atau seseorang tersebut. di awal telah kukatakan, tidak salah jika kita menyukai lagu atau film-film Korea. Tapi hal itu disebut kesalahan jika kita berusaha menjadi seperti mereka dan akhirnya lupa pada kehebatan budaya yang kita miliki. Kebiasaan buruk ini bagai penyakit keturunan yang tak kunjung sembuh.
Banyak dari anak muda penjiplak mengawali karir menjiplak mereka melalui pergaulan dan tontonan. Kelemahan anak Indonesia adalah tidak ada kebanggaan akan diri sendiri, dan merasa hebat jika mampu bertransformer menjadi seperti apa yang mereka lihat (ikut-ikutan orang Korea misalnya). Pergaulan di dukung oleh media-media membuat mereka menjadi jarum suntik virus Korea bagi anak lainnya. Dan penyebaran pun merajalela perlahan mengikis kekreatifitasan anak Indonesia.
Anak muda Indonesia sebenarnya punya banyak modal untuk menjadi idola, bukan sekedar pengidola. Lewat batik kita dapat memunculkan kembali busana dan aksesoris khas Indonesia. Sanggar-sanggar dapat menampilkan tarian khas Indonesia versi modern, dan kreatifitas lainnya. Kreatifitas itu dapat mengubah “annyeong Indonesia” menjadi “hai Korea.”
Kebiasaan buruk jika dipertahankan akan menjadi suatu penyakit yang menggerogoti kebiasaan baik. Ketika kebiasaan baik terkikis, segala kekayaan dan kemampuan yang kita miliki pun hilang. Jika diibaratkan, kita bagai tikus yang mati di lumbung padi. Artinya kita menjadi miskin dalam kekayaan yang kita punya. Aku yakin, Aku dan anak Indonesia tidak mau menjadi tikus-tikus yang mati di lumbung padi tetapi bersorak-sorai di lumbung padi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar