Seminggu yang lalu teman dari Jakarta pulang liburan. Kami mengadakan reuni kecil dan menginap beberapa hari di rumah teman. Ada sesuatu yang aneh kurasakan pada dirinya, mulai dari dandanan hingga bahasanya. Setiap kali kami mengajaknya bicara dalam bahasa Dayak, dia selalu menyahuti dengan bahasa ala Jakarta. Hingga esok harinya, ketika kami sedang seru-serunya mengobrol dia berkata, “kamu ini ngaloki (membohongi) aku saja..” sontak kami mengulum senyum menahan geli mendengarnya. Jujur saja, hal itu sangat memalukan bagiku.
Hal di atas bukan hanya terjadi pada temanku, tapi nyaris terjadi pada anak-anak Dayak lainnya. Saat ini kebanggaan sebagai anak Dayak semakin menipis. Bahkan tragisnya untuk berbahasa dan mengakui jati dirinya saja mereka nyaris tidak mau. Hal tersebut seakan-akan suatu penyakit yang mengerikan. Saking mengerikannya mereka tidak mau hal itu terungkap.
Di Gawai Dayak beberapa waktu lalu, peserta yang mengikuti ajang Bujank Dare sebagian besar bukan dari suku Dayak asli. Mereka tidak dapat menunjukkan kemampuan berbahasa Dayak yang benar. Mereka juga tidak dapat menggambarkan kebudayaan suku ini. Bukankah itu fakta yang sangat memprihatinkan? Bagaimana bisa warisan adat, budaya terbesar yang menjadi kebanggaan suku Dayak ini, tercoreng hanya karena masyarakatnya meminoritaskan diri?
Krisis kebanggaan ini membuat suku Dayak tidak berkembang hingga sekarang. Tanpa disadari mereka meminoritaskan diri sendiri. Malu untuk berbahasa Dayak menjadi ajang pemusnahan satu di antara budaya yang dimiliki suku tersebut. Padahal telah dinyatakan ada 100 lebih suku Dayak yang tersebar di Kalimantan (belum lagi jumlah suku yang belum diketahui), dan itu membuktikan suku Dayak bukanlah minoritas yang sebenarnya. Suku Dayak juga menjadi abang atau saudara tertua dari suku lainnya. Artinya suku Dayak dihormati oleh suku lain. Lantas, apa yang menyebabkan kekrisisan itu terjadi?
Jika kembali ke beberapa waktu lalu, maka dapat ditemukan penyebabnya. Kekuatan secara mistik yang dimiliki oleh suku ini membuat mereka tidak mau membuka diri terhadap perkembangan dunia. Disinyalir pada awal-awal masa modern, suku Dayak menolak untuk mengikuti perkembangan. Mereka masih berkecimpung dengan adat dan tradisi mereka. Sehingga akhirnya suku-suku lain menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan Kalimantan Barat. Peranan masyarakat Dayak pun semakin tidak terdengar lagi. Jadi, suku Dayak terkena krisis bukan karena ulah suku atau masyarakat lain tetapi disebabkan oleh diri mereka sendiri.
Namun, apakah Dayak berakhir? Tidak. Di tengah-tengah kekrisisan itu, Cornelis, Gubernur Kalimantan Barat saat ini berhasil membuktikan bahwa Dayak masih sanggup mengibarkan peranan mereka bagi masyarakat. Hal ini seharusnya memotivasi para pemuda Dayak untuk bangkit. Belajar berbangga dengan apa yang dimiliki akan memulihkan kekrisisan tersebut. Kedepannya tidak akan ditemui lagi pemuda Dayak yang malu akan bahasa dan budayanya sendiri. Tapi justru mengusung sukunya untuk ikut berperan menjadikan Kalimantan barat sejajar dengan provinsi lainnya.
Untuk menggapai hal tersebut, sanggupkah para pemuda Dayak mempersembahkan kekhasan suku mereka bagi Kalimantan Barat dan lepas dari kekrisisan? Atau justru semakin terjerumus dalam kekrisisan??
hemm, Kasian Banget yah
BalasHapus