Kamis, 14 April 2011

Bertahan



Hari ini aku memutuskan untuk bangun lebih pagi, aku sudah berkomitmen untuk bersaat teduh pada pukul 05.00 setip hari. Alarm sudah membangunkanku dari setengah jam yang lalu, tapi mataku sepertinya terjahit sehingga susah sekali untuk dibuka. Akhirnya aku bersaat teduh pada pukul 05.40, telat tiga puluh menit lebih. Tidak mengapa, toh aku kan baru belajar ujar hatiku menenangkan diri. Hari ini aku akan mengunjungi dia lagi, meski banyak orang berpikir aku gila, tapi apa salahnya aku toh tidak melakukan kesalahan atau pelanggaran.
“Hei..apa kau tahu, hari ini aku harus berlari selama dua puluh menit dari kejaran supirku, agh..aku sungguh tidak mengerti, ada apa dengan orang-orang itu..kenapa tidak membiarkan aku bertemu denganmu??..membosankan hidup seperti ini..” Keluhku, dan dia hanya diam dan tersenyum tipis.

Aku paling membenci senyum itu, senyum yang selalu membuatku tidak konsentrasi saat belajar. Berani sekali dia menggangguku dengan senyum manisnya itu. Dasar beruang kutub! Maki hatiku. Kubiarkan dia menghampiriku meski tak menghampiriku secara langsung, tapi dia sengaja menggodaku dengan cara itu. Dia pikir aku peduli? Gerutu hatiku. Tapi aku memang peduli, buktinya aku kesal..hah.
Seperti hari minggu yang lalu-lalu, hari ini pun aku bersiap berangkat iibadah. Tiba-tiba ada sms masuk, “ibadah bersama, oke?” aku tidak sadar bibirku menyunggingkan senyuman. Mulai hari itu kami selalu beribadah bersama. Aku merasa sangat bersemangat, aku semakin memulihkan hubunganku dengan Tuhan, aku dan dia akan bersama-sama melakukan saat teduh melalui handphone, dan kami juga terkadang mengikuti KKR dan seminar bersama. Sejak hari dimana aku memiliki dia, aku merasa hidupku sempurna. Aku memiliki Tuhan yang baik, orang tua yang mendukungku, teman dan sahabat yang selalu ada buatku, dan terutama pacar yang selalu membuatku merasa sempurna. Setiap masalah dapat aku atasi dengan baik.
Hari ini kami liburan bersama, berjalan-jalan ke pantai terasa sangat menyegarkan pikiranku. Benar-benar mengasyikan. Sambil bergandengan tangan aku dan dia berjalan menyusuri pantai. Bermain dengan kerikil, kepiting dan kerang yang terhempas ombak, dan bermain dengan pasir yang hangat.
“Apa kau merasa bahagia hari ini?”
“Meskipun tempat ini seribu kali aku datangi, aku tetap merasa bahagia. Pantai membuatku merasa nyaman dan tenang. Dan aku selalu ingin ke pantai bersamamu..”
Dia menggenggam jemariku erat, “Maukah berjanji untuk terus bersemangat seperti ini?” Tanyanya
Aku mengangguk, “Aku akan selalu bersemangat karena dirimu..”
Sambil tersenyum dia melepaskan jariku, dan merogoh sakunya. “Aku sudah lama ingin memberikan ini padamu..” Sebuah kalung terggenggam ditangannya, “Ini adalah kalung yang aku ukir sendiri, dan aku pernah berjanji akan memberikannya untuk cintaku..”
Aku tersenyum lebar saat dia memasangkan kalung itu, kalung yang memiliki lingkaran-lingkaran kecil di tengah lingkaran besar, seperti gelembung-gelembung yang berdenting. Ingin rasanya memeluk tubuhnya yang kurus itu, tapi aku tahu, aku tidak bisa melanggar komitmen kami untuk tidak saling memeluk sebelum masa pacaran menginjak usia 5 bulan. Terkadang aku merasa lucu, dulu aku mengira dia pria yang sama dengan yang lainnya tapi ternyata berbeda. Dan aku beruntung memiliki hal yang berbeda itu.

Dengan tergesa-gesa aku menyusuri koridor rumah sakit itu, telepon yang baru saja aku terima membuatku merasa seperti sedang berjalan dalam mimpi. Katanya dia kecelakan, saat berdiri di atas batu dia tergelincir dan terjatuh dari tebing. Kepalanya mengalami gangguan, tidak tahu seberapa parahnya. Aku tidak percaya dia akan pergi ke pantai sendirian, kenapa dia tidak mengajakku? Kenapa dia harus tidak berhati-hati? Ada apa dengannya? Aku melangkah memasuki ruangan sambil menggenggam kalungnya.
“Apakah dia baik-baik saja..”
Tak ada yang menyahutiku. Ibunya langsung memelukku, “Ini semua kesalahanku, dia selalu merasa tertekan dengan pertengkaran kami, untuk mencari ketenangan dia pergi ke pantai. Aku tidak tahu kenapa dia harus terjatuh?”
Aku terdiam, aku tidak pernah tahu tentang keluarganya yang broken home, dia tak sepenuhnya membuka tentang dirinya padaku. Oh..kenapa baru aku sadari sekarang? Aku hanya bisa membalas memeluk tubuh wanita itu tanpa tahu harus berkata apa.
Kecelakaan itu memang tidak membunuhnya, tapi membuatnya seperti seorang boneka. Dia hanya berdiam diri dan terkadang berteriak tak jelas. Dia akan melempar semua yang ada disekitarnya kalau dia merasa tergganggu. Dia tidak pernah merespon ujaranku kecuali dengan senyum sinis itu. Aku merasa hidupku mulai tertekan, masalah datang bertubi-tubi. Teman-temanku mulai melarangku untuk berhubungan dengannya, bahkan orang tuaku mulai membatasi jadwal kunjunganku. Tidak hanya itu, aku merasa aku hanya berjalan sendirian, Tuhan tak lagi bersamaku. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Aku berusaha memulihkan dirinya, agar dia ingat siapa dia, siapa aku, siapa mereka yang terus menarikku pergi saat bertemu dengannya. Ingin rasanya aku berhenti berdoa atau bersaat teduh. Aku kecewa, kecaewaku membuatku hampir melupakan siapa yang memberikan hal berbeda ini padaku. Aku berusaha tidak melupakan siapa yang menjadi nafas dalam diriku. Aku berusaha terus mengingat siapa Tuhan. Meski sejujurnya hatiku selalu merasa kecewa, tapi aku tak bisa untuk tidak menyapanya dengan mulutku. Lelah..aku sudah lelah.
Ketika aku merasa dunia akan berakhir, seseorang menyadarkanku, katanya “hidup tidak akan sempurna tanpa masalah dan cinta. Keduanya adalah kunci untuk kita menjalani hidup ini. Masalah menjadikan kita dewasa dan cinta memberikan kita kekuatan.” Aku mulai memahaminya. Kenapa aku harus merasa lelah, kenapa aku harus menyia-nyiakan kasih-Nya? Aku dan dia sedang diberi jamuan masalah sekarang, kalau kami mampu menghabiskannya, kami akan menikmati kekenyangan bahagia. Aku mulai menata hidupku kembali, tidak peduli seberapa banyak orang yang mendukung dan menghalangiku.
Aku menggenggam kalungnya, menunjukkannya dihadapannya, berharap dia mengingatnya. “Kau selalu memintaku untuk bersemangat bukan? Maaf kalau aku sempat menangis..ayo kita ke pantai..”
“Pantai..” Aku tersenyum melihat reaksinya. Kata dokter keadaaanya sudah membaik. Bertolak dari perkiraan dokter selama ini, aku beryukur untuk semuanya. Aku merasa tak ada yang sia-sia saat aku bertahan selama ini.
“Agh..berapa bulan tidak ke pantai aku sungguh sangat merindukan ombak..apa kau juga merindukan ombak?”
Dia mengangguk pelan, dan kami berjalan bergandengan menyusuri pantai dan bermain di tebing. Meski setelah itu aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Dia menghilang, entah pergi kemana. Sejauh apa pun aku mencarinya tetap saja aku tidak bisa menemukannya. Akhirnya aku tahu, keluarganya memindahkannya. Dan saat ini, aku sedang mencarinya dan menunggu keajaiban Tuhan untuk cintaku. Entah sampai kapan aku mampu bertahan, tapi aku tahu ada kekuatan besar yang membuaatku akan terus bertahan. Dan sekali lagi aku berkata,
“Aku telah berjanji untuk selalu bersemangat karena dirimu..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar