Kamis, 14 April 2011

Ve-Re

Orang yang paling kita sayangi berada pada posisi yang paling tepat buat nyakitin kita

Kegelisahan menyelimuti wajah itu, berulang kali dia memainkan resleting jaketnya. Duduk, berdiri, duduk, dan berdiri lagi. Matanya semakin berkaca-kaca ketika dia sadari bahwa dua jam sudah berlalu. Tapi sosok itu tak kunjung tiba, padahal keyakinan yang dia bangun selama ini rasanya lebih dari cukup untuk mengisi keberaniannya.
“Aku yakin sekarang, aku memang bukan siapa-siapa buat kamu… maaf,” Gumamnya lirih. Maafkan aku!! Tulisnya pada secarik kertas, berharap tersampaikan pada sosok itu. Dan saat dia perlahan beranjak pergi, angin pun perlahan membawa kertas itu menjauh, dan tertusuk pada duri mawar di pinggir jalan.


You can give without loving, but you can’t love without giving!

Tangan itu terampil memasukkan barang-barangnya ke dalam koper. Memastikan semuanya telah dimasukkan. Menatap sedikit lama pada tumpukan kartu yang berjejer rapi disetiap filenya sebelum memasukkannya ke dalam ransel hitamnya. Menatap gerimis yang seakan-akan tak mengizinkannya pergi, atau barangkali ada yang tertinggal? Sayang, untuknya pikiran seperti itu tak ada.
“Selamat tinggal Geisha, sori aku harus pergi..” Gumamnya pada selembar stiker bertuliskan Geisha yang tertempel pada daun pintu kostnya, seolah-olah benda itu adalah benda hidup.
Setelah mengunci pintu, tanpa peduli pada gerimis dia memasang helm dan melesat pergi. Perlahan tapi pasti tiger itu menjauh dan semakin jauh untuk kemudian menghilang dibalik tikungan.
Dia memang melupakan sesuatu, dia lupa untuk melihat sekali lagi di dalam lemari. Di sana kayu dan paku bersedih, karena sesuatu yang tergeletak di sana, yang terlupakan dan terpenting. Bingkisan itu tergeletak tak berdaya, diam membisu bersama kayu lemari.


Cinta itu tidak buta, cinta melihat suatu perjanjian besar yang lebih besar dari pada kenyataanya. Cinta melihat ide-ide dan potensi di dalam kita.

“Akhirnya, bisa juga balik ke Jakarta..” Gumam Velite. Agak lama dia memandang pintu kamar kostan itu, stiker Geisha-film idolanya-terpampang di sana. Meski merasa aneh Velite tak ingin menggubrisnya.
Sepertinya Velite tipe cewek yang suka menunda pekerjaan. Lihat saja, padahal sudah satu jam lebih dia masuk kamar tapi barang-barangnya masih berantakkan. Di kasur lah, di meja lah, di lantai bahkan di rak sepatu semuanya berserakkan, teronggok begitu saja.
“Iya ma, gak perlu khawatir.. Semuanya udah aku dengar dan akan aku ingat, kalo’ perlu aku jadiin menu utama sehari-hari aku disini. Udah ya ma.. aku mau beres-beres dulu nih…” Ujarnya mengakhiri UUD mamanya yang memang sangat amat teramat super duper cerewet.
“Ya…udah, ingat sekali lagi ya nasehat mama..” Sahut mamanya,
“Mm..da…” Kemudian ponsel mungil itu terlempar di atas kasur. Sembari bersiul dia melipat pakaiannya dan membuka lemari. Baju yang hampir terduduk di lemari ditariknya kembali.
“Siapa sih orang yang tega ninggalin kado begini kerennya..” Celetuknya mengamati bingkisan yang masih tergeletak di dalam lemari. Velite meraihnya, dan rasa penasaran memaksanya untuk membuka bungkusan itu, tapi…
“Ups!! Inikan milik orang lain, ntar kalo’ pemiliknya datang buat ngambil kado ini aku harus bilang apa? Huh… untung aja belum kebuka.” Tuturnya pada diri sendiri, kemudian dia melanjutkan berkemas. Dengan bersiul kecil tangannya kembali merapikan barang-barangnya, dengan malas nan anggun dia meraih handuknya dan menuju kamar mandi. Terdengar siulannya menyumbang saat air pertama dari gayung jatuh mengguyur tubuhnya.


Through every moment of the coming beautiful new day, say the sound of love, peace and happiness, surrounds you.

Langkah kaki yang tegap, pasti, badannya yang sedikit kurus, jangkung plus rambut gondrong berpaduan dengan mata hitam berhiaskan bulu dan alis tebal, menjadikan sosok cool Reando yang sederhana bersinar di halaman kampus. Namun sosok itu tidak membuat mata hawa sepenuhnya menyukai dia. Selain cuek, orangnya gak asyik buat dideketin.
“Reando!” Panggil suara bass dibelakangnya, tanpa menoleh Reando tau kalo’ itu suara Aron, teman satu apartemen sekaligus sepupunya.
“Loe kok ninggalin gue sih…” Tukas Aron cemberut
Reando cuma tersenyum ringkas,
“Eh..ditanya malah senyam senyum, emang gue mo beli tuh senyum mahal loe!”
Lagi-lagi Reando cuma tersenyum,
“Lagi ngapain sih?”
“Ngecek tugas,”
“Ye.. pantesan ditanya gak ngejawab,”
“Loe ketiduran, ya gue tinggal”
“Iya deh ngaku salah, sori.. Eh bung KrisMon Krisis Ngomong, katanya kelas kita hari ini bakal ada anak baru, bener gak?” Tanya Aron sambil menidurkan tangannya ke bahu Reando
“Au!”
“Cewek lho.. katanya selain cantik dia juga pintar, pindahan Singapur,”
“Hmm..”
“Kalo’ gak salah denger, namanya Ven..mm..Venne Litha Terumasa, keturunan Jepang kali ya…”
Reando diam, tangannya berhenti menelusuri map makalahnya. Entah kenapa nama itu terasa begitu familiar ditelinganya, dimana, siapa, kapan semuanya terasa samar. “Masuk yuk..” Katanya kepada Aron,
Cowok punky itu terhenyak, “e..eh! gimana sih loe Re, tadi katanya mo makan dulu, lapar…”
“Kapan?”
“Tadi barusan, gue ngajak makan loenya angguk-angguk,”
“Anggukan bukan berarti iya Aron..” Seru Reando kemudian ngeloyor pergi. Aron cuma ternganga, untung gak ada kumbang yang masuk nyawanya-saking gedenya tuh mulut mangap- selama ini anggukan itu selalu iya menurut Reando, kapan berubahnya? Aron cuma mengacak rambutnya.
“Permisi…permisi….!” Suara Velite tampaknya terlalu kecil buat orang seserius Reando, “Permisi..!!” Teriakan Velite kali ini berhasil.
Kening Reando mengerut, sedikit keterkejutan tergambar diwajahnya. “Boleh aku lewat?” Tanya Velite. Reando menoleh kesamping, ternyata dia memang berdiri terlalu di tengah pintu.
“Sori,” Ujarnya kemudian beranjak dari sana. Velite pun cuman mengangkat alis dan beranjak. Tampaknya Reando mengenal Velite apa itu benar-benar dia? Pikirnya. Tapi pikiran itu terus membuntutinya, dan kali ini pertama kalinya Reando tampak gelisah karena pikiran seperti itu.
“Re.. kok ngelamun lagi sih?” Tukas Aron, dia merasa bingung, seharian ini sepupunya itu terus melamun. Gak di kampus, gak di apartement mereka lah.
“Loe ingat gak sama temen-temen SMA loe dulu?”
Aron berpikir sejenak, “Mm.., masih sih.. ya walau pun gak semua”
“Misalnya?” Reando memalingkan wajah ke arah Aron,
“Ya.. sahabat, pacar, temen satu kelas, bahkan orang yang paling sering bikin gue sebel pun turut gue ingat. Loe kenapa sih nanya begituan?”
“Berarti ada anak-anak yang loe lupa?” Bukannya ngejawab Reando malah nanya,
Aron memiringkan bibirnya, “Iya, apalagi bukan orang yang berkesan dipikiran gue..”
“Kalo benci?”
“Ampun deh Re, pan tadi udah dibilang. Noh si Otong, yang suka jahilin gue tetap keingat ma gue. Re, orang yang kita benci itu justru akan selalu kita ingat. Karena tiap hari kita mikir gimana balas sikap dia,”
Reando terdiam, kalo’ gitu sebenarnya aku dia anggap apa?
“Kenapa sih loe nanya-nanya begituan? Tumben banget..” Tanya Aron sambil menatap Reando
Yang ditatap tampak sumringah, “E.., loe ada janji makan malam ama Abel,”
Aron memukul jidatnya, “Oh iya, gue ke sini tadi kan mo ambil jaket.. hah! Loe sih ngajakin ngobrol..”
“Tadi gue kan cuman nanya..”
“Dilanjutin ngobrolkan..” Seru Aron yang segera berlalu setelah menyambar jaketnya.


Yang sulit bukanlah melenyapkan kenangan, melainkan mengumpulkan kekuatan untuk merelakannya.

“Hai.. aku Velite, bisa bantuin pegang buku ini?” Velite memancungkan bibirnya menunjuk ke arah buku yang hampir jatuh dari tangannya.
Reando tak menyahut, tapi tangannya meraih tumpukan buku yang membuat Velite hampir jatuh. Velite hanya mengerutkan dahinya, tapi kemudian kerutan itu hilang. “Mm.. thanks ya, ehm.. nama kamu siapa?”
Kamu bener-bener lupa sama aku! Bukannya menyahut Reando malah pergi, berbalik ke arah parkiran. Padahal dia baru saja datang, malah pergi lagi.
“Reando! Namanya Reando, lengkapnya Ispran Reando Jayadi, anak diplomat, tunggal dan cuek abiss.” Mata Velite beralih pada cowok punky didepannya, yang ditoleh cuman tersenyum lebar.
“Kok..”
“Kenalin gue Aron, temen sekaligus sepupu Reando. Secara kita satu apartement jadi udah mengenal sifat-sifat dia. Loe anak baru itu?”
“Iya, aku Velite. Kok bisa ya kamu punya sepupu secuek itu..” Kata Velite sambil melangkah menuju kelas.
Aron menawarkan bantuan dengan mengulurkan tangan ke arah tumpukan buku di tangan Velite. “Ya…, Reando emang gitu orangnya. Dia itu lebih dari sekedar iceman, may be tante Hana melahirkan dia di Kutub Utara kali’.. ha..ha.. gak ding gue becanda kok. Pastinya Reando emang tipe orang serius, tapi dia perhatian dan juga baik kok..”
Kalo’ aku udah jadi istrinya kale.. batin Velite. Dalam sekejab Aron dan Velite sudah tenggelam dengan pembicaraan mereka, sampai-sampai mereka gak sadar kalau Reando gak kembali-kembali ke kampus (perlu dicatat kalau Aron tau, karena selama ini Reando gak pernah bolos).

“Es kelapanya mas?” Tawar seorang penjual es keliling padanya,
“Gak, ma’kasih!” Tolak Reando. Kembali ditatapnya selembar kartu valentine yang sedikit lusuh itu.

“Reando… bagi coklat dong..!” Goda seorang gadis di balik daun pintu kelas Reando.
Reando cuma tersenyum,
“Iih..pelit!!” Rajuk gadis itu,
Reando kembali tersenyum sebelum menjawab, “Gue gak punya cokelat, yang ada cuman permen. Sebutir tapi..”
Wajah gadis itu berubah cerah, “Gak apa-apa, yang penting gue dapat sesuatu dari loe hari ini,” Reando mengerutkan dahi tanda bingung. Memangnya ini hari spesial apaan sih, sampe ngotot minta coklat. Dikasi’ permen relaxa aja udah segitu happynya, kayak yang ngasi pasha “ungu” aja..
Reando tau kalo’ gadis itu menyukainya, tapi dia belum mau menanggapi. Bukan karena dia benci atau apa, sejujurnya dia cukup tertarik dengan gadis itu. Hanya saja dia gak mau kalau prestasinya turun gara-gara sesuatu yang belum pasti.
Gadis itu memang memberi perhatian cukup buat Reando, dilakukan dengan cara yang hanya mereka berdua dan Tuhan saja yang tau. Namun, kalau mata murid-murid tak tertipu dengan penampilan sederhana mereka, kebersamaan mereka akan terlihat beda. Disetiap hari penting dalam hidup Reando, gadis itu selalu memberi sesuatu yang kecil namun ‘besar’.
Ketika hari yang ditunggu Reando tiba, gadis itu tak kunjung tiba. Padahal seharusnya dia tau, setelah pertemuan itu mereka akan sulit untuk bertemu kembali. Acara prom night itu gak mungkin untuk gadis smart seperti dia dilewati. Namun, itulah kenyataan. Hingga tengah malam Reando tak melihat sosok itu datang. Air matanya mengalir untuk pertama kali dalam hidupnya.

Sunset sudah berganti menjadi bulan. Bayangan kenangan itu membuat Reando betah menemani batu-batu karang yang melayani deburan ombak. Dan menikmati kepakan sayap camar laut di atas kepalanya.
Sedang di sisi lain Aron hampir mati lemas mencarinya. Padahal hari ini Reando disuruh balik ke Bandung karena Reando akan diperkenalkan pada seorang pengusaha terkenal, yang masih menjadi anggota keluarga Jayadi. Sedari tadi pak Jayadi sudah menelepon Aron menanyakan Reando. Sebagai sepupu Aron khawatir berat, karena dia tau Reando itu alergi ngembun. meski setahun belakangan alergi itu tak kambuh lagi, tapi tak menutup kemungkinan untuk penyakit itu kembali kalau Reando terlalu lama berada di luar sana.
“Duh Re.. loe kemana sih..” Gumam Aron untuk keseribu kalinya.
“Aron!” Suara pak Jayadi membuyarkan kepanikan Aron menjadi double kepanikan,
“Eh.., om!” Sahutnya gugup
“Kamu gimana sih, masa’ Reando pergi kamu gak tau?” Sergap pak Jayadi setibanya di apartement Aron.
“Maaf om, abisnya Reando pergi gak bilang-bilang. Bahkan Reando bolos kuliah om..” Lapor Aron,
“Apa?! Kamu jangan bercanda Aron, pake’ bilang Reando bolos segala…”
“Beneran om, kalo’ om gak percaya boleh tanya langsung sama dosennya om.”
“Ya ampun.. tuh anak. Kok bias-bisanya dia bikin ulah seperti ini, mana ada meeting lagi.” Pak Jayadi langsung meraih ponselnya, menekan beberapa nomor. “Halo, selamat malam pak Riant. Maaf.. bagaimana kalau pertemuan malam ini kita tunda dulu. Iya.. sekarang anak saya sedang mengalami masalah, terima kasih pak. Selamat malam.” Setelah menutup telepon pak Jayadi langsung mengajak Aron untuk ikut dalam mobilnya.
“Kamu tau kemana kira-kira Reando pergi?”
“Kurang tau om, karena selama ini Reando jarang keluar dan.. paling-paling jalan sebentar ke Mall om..”
“Kok punya anak satu aja repot begini sih..”
“Kita mencar aja om nyarinya, om kesinikan bawa mobil dua.. gimana kalau om suruh anak buah om ikut nyari…”
Pak Jayadi langsung menepuk jidatnya, “Iya ya…kenapa gak berpikir begitu dari tadi, sebentar..” Pak Jayadi langsung sibuk memerintah anak buahnya untuk mencari Reando, dan terdengar hadiah menarik bagi siapa saja yang berhasil menemukan Reando. Aron hanya mencuatkan bibir kekiri atas. Gak repot sebenarnya kalau orang kaya lagi ada masalah, tinggal suruh aja.. beres!
Reando mengelus tiger kesayangannya, yang telah menemaninya dari SMA. Sekilas kenangan terbayang ketika dia membawa gadis itu melayang dengan tigernya ketika sama-sama telat pergi sekolah. Dan itu adalah awal perjumpaan mereka.
Kini dia melayang sendirian, dan memang selalu sendirian. Di tengah kesunyian langit dan keramaian kota, Reando membawa laju tigernya. Nafasnya mulai terasa sesak, ya ampun.. dia baru ingat kalau dia alergi ngembun. Dengan menaikkan kecepatan motornya Reando berharap dapat mencapai pusat kota sebelum malam mencapai pagi. Namun, tatapannya semakin memudar. Napasnya terasa semakin sesak. Dan semua gelap, hanya ada suara benturan keras yang terakhir didengarnya. Setelah itu sunyi.


Love is too precious,do not destroy it.
Love is beauty, admire it.
Love is a challenge, meet it.
Love is a duty, complete it.
Love is a game, play it.
Love is a promise, fulfill it.
Love is sorrow, overcome it.
Love is a song, sing it.
Love is a struggle, accept it.

Reando merasakan ada sehelai kain lembut diujung tangannya. Kain itu bukan seprai atau selimut, tapi syal seorang gadis yang tengah asyik membaca The Lord of The Ring di samping ranjangnya. Perlahan Reando membuka matanya, dan merasa bibirnya kering.
“Haus…, minta.. air..” Meski diucapkan dengan suara samar, tapi gadis itu tetap terkejut.
“Kamu.. udah bangun?” Tanya gadis itu setelah berhasil menenangkan dirinya kembali.
“Gue haus..”
“Iya, bentar aku ambilin air dulu” Velite membantu Reando minum.
“Thanks, kenapa loe ada disini?”
“Mm.., sebenarnya aku nemenin Aron nungguin kamu. Soalnya papa kamu jemput mama kamu di Bandung,”
“Trus.. Aronnya mana?”
“Lagi nyari makanan katanya..”
“Aduuh..” Keluh Reando sembari memegang dadanya,
“Kamu kenapa?!”
“Dada gue sakit banget nih, rasanya gue… gak.. bias nafas…, Venne..air..” Tersendat-sendat Reando meminta Velite untuk mengambil air minum. Tapi bukannya mengambil air, velite malah lari keluar mencari dokter meninggalkan Reando yang terkulai lemah dengan pecahan gelas dilantai.
Saat mencapai ruangan dokter entah kenapa, Velite merasa aneh. Dia dengan sendirinya tau letak ruangan dokter, padahal dia jarang ke rumah sakit Jakarta. Dia juga merasa mengenal beberapa dokter dan perawat di rumah sakit ini. Dia merasa kalau dirinya pernah berada di sini sebelumnya. Dan disinilah awal semuanya, trus.. kenapa Reando memanggilnya Venne?!
“Dia akan baik-baik saja, mungkin ada hal lain yang mempengaruhi pikirannya. Biarkan dia istirahat, saya tinggal dulu.”
“Terima kasih dok..” Sahut Aron, dia kembali masuk.
“Aron, Venne mana?”
Aron mengerutkan dahinya, “Venne?!”
“A.. maksudnya Velite,”
“Oh.., gak tau tadi abis manggil dokter dia langsung pulang, kayaknya ada sesuatu gitu..”
Reando terdiam, kenapa kamu pergi lagi Venne? Aku belum dapat penjelasan kenapa kamu gak datang malam itu? Tanya hati Reando.
“Re, kenapa tadi loe manggil Velite dengan nama Venne?”
“Hm…. Dia teman SMA gue. Loe ingat waktu gue nanya tentang ingatan loe sama teman SMA loe? Gue nanya karena gue pengen tau, sebenarnya Venne atau Velite itu nganggap gue siapa? Kenapa dia sama sekali gak ingat sama gue?”
“Dia… pacar loe? Atau mantan?” Tanya Aron hati-hati,
Reando menggeleng lemah, “Bukan dua-duannya, tapi antaranya”
Aron semakin tidak mengerti, “Maksud loe?”
“Waktu SMA dulu, bisa dibilang kalau gue dan Venne sama-sama menyimpan perasaan yang sama, dari sikap dia ke gue dan perhatian yang dia kasi’” Reando diam sesaat, “Tapi waktu itu gue belum mau terlalu menanggapi perhatian dia, walau gue tau gue juga sayang sama dia. Gue cuman nunggu saat yang tepat aja. Tapi waktu kesempatan itu datang, Venne gak datang… acara perpisahan itu… tanpa sebuah kata dan tanpa sebuah pertemuan, dia menghilang begitu aja.., dia melupakan gue.”
Aron menepuk bahu Reando, tepat saat pak Jayadi dan bu Nia masuk. “sayang.., kamu udah baikan?” Tanya bu Nia tampak galau,
“Aku baik-baik aja kok ma…” Pak Jayadi hanya menatap wajah putranya dalam.
Reando menatap Aron, dan sebagai sepupu Aron tau apa yang diinginkan Reando lewat tatapannya. Dia pun dengan perlahan keluar mencari Venne. Reando sendiri hanya mampu berharap, setidaknya dia ingin Venne atau Velite mengingatnya sebagai teman sekelasnya waktu SMA.


Bukan kenangan yang aku impikan, bukan kesedihan yang aku harapkan, bukan perpisahan yang aku dambakan. Tapi.. masa depan, kebahagian dan kebersamaan kita.

“Tuhan.. gak mungkin aku bisa seperti ini. Hiks..! kenapa aku bisa melupakan Reando? Ternyata ini arti dari tatapan Reando waktu lihat aku, dia mengenal aku… bagaimana kalau dia kira aku melupakannya? Bagaimana kalau dia mengira aku dulu hanya mempermainkannya?”
Velite terbungkus kesedihan dalam tidurnya. Bayang-bayang penjelasan mama membuatnya semakin rapuh. “Iya, waktu itu kamu mengalami kecelakan. Saat kita masih tinggal di Jakarta, kamu pernah dirawat dirumah sakit Siloam juga. Tapi waktu itu kondisi kamu parah, hingga mama dan papa memutuskan untuk pergi ke Singapura. Untungnya nyawa kamu masih bisa diselamatkan, meskipun ingatan kamu tidak seratus persen pulih..”
Penjelasan mama dan pihak rumah sakit sama, ternyata Venne memang pernah dirawat disana. Perlahan Venne mengitari seisi kamar kostan itu. Mulai dari tempelan stiker Geisha di pintu kamar sampai pada bingkisan yang tergeletak di atas meja belajarnya. Kado yang juga terabaikan olehnya di tepi meja hampir terjatuh.
Bukannya Geisha adalah film kesukaan dia dan Reando? Bukannya itu bingkisan yang dia berikan secara tidak langsung pada Reando? Dia pernah memasuki kamar ini waktu meletakkan bingkisan itu, saat Reando tertipu untuk membelikannya roti tawar di mini market seberang. Pantas saja dia merasa tidak asing berada di kamar ini.

“Lho.., Venne. Ngapain loe ke sini?” Tanya Reando saat itu, saat ketika dirinya berdiri kaku di depan kostan Reando.
Dengan sedikit canggung Venne menunjuk belakang roknya, “Tolongin gue ya.., kayaknya gue tiba-tiba dapet. Bolehkan?” Dan dengan canggung pula Reando mempersilahkan Venne untuk masuk, sedangkan dia segera berlari ke mini market di seberang jalan.
Setelah Reando menghilang di antara mobil-mobil, Venne segera beraksi, dia menyelinapkan bingkisan berwarna merah marun dalam lemari Reando. Ketika Reando datang semuanya telah selesai, dan..
“Kayaknya bukan itu deh Re, cuma darah nyamuk.. sori ya, kalau gitu gue pulang dulu.. maaf merepotkan.” Dan Reando pun hanya bisa ternganga dengan ulah Venne.
“Huh!! Ada-ada aja,” Tapi Venne tidak tau kalau Reando tersenyum saat itu.
Reando semakin gak tahan, dia gak sabar untuk mendengar penjelasan Venne. Meskipun dia baru boleh pulang besok lusa, namun tekadnya membuat dia nekat untuk kabur.
“Papa..! Reando gak ada dikamarnya..!” Teriak bu Nia, pak Jayadi dan Aron pun segera melapor pada pihak rumah sakit. Namun Aron tau Reando kemana, dia hanya tidak mau menghalangi pencarian Reando. Dia tau hanya itu obat manjur bagi Reando.
“Dasar iceman, nekat juga sama yang namanya cinta..” Gumam Aron, dan pak Jayadi mendengar itu. Mau gak mau Aron terpaksa menceritakan semuanya. Pak Jayadi hanya menggeleng lemah.

“Aku udah nunggu dia berjam-jam, tapi dia gak pernah datang. Sampai kecelakaan itu terjadi, Reando gak pernah datang, gak pernah nemuin aku lagi!!” Seru Venne marah,
“Bahkan Reando gak pernah mau walau pun aku udah berusaha memberi perhatian padanya, dia gak pernah mau menerima bingkisan, pemberian terakhir dari aku. Dia..dia yang ninggalin aku dan membuat aku begini!” Teriak Venne lagi. Dan Aron tidak tau harus berkata apa.
“Gila! Gue gak pernah tau kalo’ dia ngasi’in gue bingkisan. Dan gue juga gak tau tentang surat itu!” Itulah respon Reando setelah mendengar cerita Aron tentang bingkisan dan surat itu.
“Sori Re.., bukannya gue gak bisa bawa Venne kesini, tapi gue gak mau kalian bertemu sebelum tau kebenarannya.”
Reando menggeleng lemah, “ini memang salah gue Aron, ini salah gue!!” Dan Aron pun harus berteriak meminta bantuan suster untuk menenangkan Reando.


Cinta menuntut kesetiaan, kesetiaan menuntut pengorbanan. Namun pengorbanan sejati adalah pengorbanan yang dilandasi cinta.

Kemana perginya Reando? Dia berhasil kabur dari penglihatan Aron dan papanya. Dia berjalan pelan menuju kostan itu, padahal malam sudah tiba, dan dia tau hal itu berarti apa. Tapi Reando gak peduli, dia rela melakukan apapun asalkan Venne tau yang sebenarnya.
Sebelum melangkah masuk, Reando menemukan stiker Geisha itu kini telah terlepas atau sengaja dilepaskan dari daun pintu kostan itu. Dia tau itu perbuatan Venne, dan sejenak keraguan menyelimutinya. Kali ini pun dia gak peduli.
Di dalam terbaring sesosok tubuh, tampak letih dan terluka. Seperti seseorang yang kehilangan hidupnya. Menggenggam sebuah bingkisan lusuh berwarna merah marun dalam dadanya. Reando meraih bingkisan itu, dia merasa napasnya memburu. Tapi keinginannya untuk melihat bingkisan itu memberinya kekuatan.
Dearest Ando,
Ini hanya kenang-kenangan kecil dari gue, semoga loe mau nerima ini. Ya.. memang sih cuma frame foto, tapi gue punya serangkai kata yang gue ukir disana buat loe.
Kalo’ loe suka, ataupun loe gak suka, gue tetep minta loe datang nemuin gue dibawah pohon akasia depan sekolah kita. Gue bakal nunggu loe sampe loe datang.


(Venne Litha Terumasa)
Venne
Reando membuka bingkisan itu, tertera namanya di sudut frame foto itu. ISPRAN ‘reando’ JAYADI entah kenapa Venne menulis nama panggilannya dengan huruf kecil semua, dan diberi tanda kutip, tapi itu terlihat manis.
Cinta…. Tak butuh apapun,
Kecuali kamu…
Rindu… tak perlu pertemuan
Kecuali kenangan..
Aku…. Sayang kamu.
Venne,

Reando menatap Venne, terlihat wajah lelah yang sedang tertidur. Reando memaksa dirinya untuk membungkuk dan mencium Venne. Namun, tarikan napasnya yang semakin memburu membuat Venne terbangun terlebih dulu.
“Ando..?!” Venne terlihat kaget,
“Ve… Venne..” Kemudian Reando terjatuh dan tak sadarkan diri. Cukup lama buat Venne untuk segera menyadari apa yang terjadi.
Reando menemukan Venne sedang berdiri di bawah pohon akasia, tersenyum dan menatap dirinya. Tapi ketika dia mendekat Venne menghilang. Dan Reando melihat Venne melangkah mundur menjauhinya… sekeras apapun dia mengejar Venne, tetap Venne tak bisa diraihnya.
Reando terkesiap, wajahnya penuh dengan butiran keringat dan napasnya terengah-engah. “Venne…Venne!!” Serunya,
Sunyi, tak ada sahutan. “Venne!!” Panggilnya lagi,
“Loe kenapa Re?” Aron yang datang.
“Aron, Venne mana?”
“Tenang, Velite.. eh, maksudnya Venne lagi ke belakang. Katanya sih kebelet pipis.”
“Oh…,” Wajah tegang Reando kini berganti dengan wajah lega. Selain karena Venne masih disini, dia juga udah gak lagi di rumah sakit. Sekarang kamar putih pucat rumah sakit berganti dengan nuansa warna klub favoritnya AC Milan, merah hitam.
“Kenapa sih, kok kayaknya loe lega gitu?” Tanya Aron sembari berbaring di samping Reando,
Reando menjawab setelah menarik napas panjang, “Soalnya gue belum sempat jelasin semuanya ke Venne, nah.. mumpung dia di sini, sebelum terlambat gue mo ngejelasin semuaaanya..”
“Gak ada yang perrlu dijelasin lagi Re..” Potong Venne di ambang pintu
“Tapi Venn…” Kepanikan tergambar kembali di wajah Reando, “Apa karena…”
“Karena gue udah tau, gue udah dengar semuanya dari Aron.” Lagi-lagi Venne memotong kalimat Reando, tapi kali ini cukup membuat wajah Reando sedikit merona,
“Ven, gue..” Kata-kata dari mulut Reando menggantung di ujung bibirnya. Berganti dengan senyum sumringah dirinya dan Venne. “Loe mau maafin gue?” Tanyanya kemudian
Venne menggeleng sambil melangkah mendekat, “Aku yang harus minta maaf, karena aku yang udah buat kamu gak bisa lembur lagi…” Reando menyentuh bibir merah Venne,
“Justru gue yang membuat semua ini, loe gak datang karena gue gak datang. Maaf ya…” Mereka bertatapan dengan mata yang berkaca-kaca.
“Woi, pasangan aneh. Giliran kemaren masih saling nyalahin. Eh.., udah ketemu malah nyalahin diri sendiri. Gila kali’ ya loe berdua..” Celetuk Aron, yang hampir terlupakan. Kemudian mereka bertiga terlibat obrolan seru, sampai-sampai lupa kalau sedari tadi empat pasang mata mengawasi dengan pandangan yang….hm...lelah menunggu giliran untuk ngobrol dengan Reando. Putra tunggal mereka sendiri.

Epilog:
Gadis itu meletakkan kertas di atas bangku di bawah pohon akasia itu. Kemudian dengan air mata bercampur gerimis dia melangkah meninggalkan tempat itu. Saat itu dia merasa tak perlu untuk mengenang cintanya pada lelaki itu. Dan sepertinya Tuhan mendengar bisikan hatinya. Saat menyeberang gadis itu tak menyadari sebuah truk yang melaju kencang kearahnya. Dan kecelakaan itu terjadi, dia tergeletak di pinggir jalan dengan darah segar yang mengalir dari kepalanya.
Tanpa dia sadari, dirinya pergi tanpa tau seseorang pun tengah menunggunya dengan menggigil di pingggir aula gedung itu. Dengan sabar dia terus berdiri, tanpa pernah melirik jam tangannya yang telah menunjuk angka tiga, sekarang jam tiga subuh. Dia menunggu lima jam, kemudian dengan tersenyum pula dia terkulai lemah tak sadarkan diri. Tentunya senyum lelah dan kepasrahan, tapi tanpa keinginan untuk melupakan.


Mencintai adalah proses penyatuan dua misi, dan tujuan yang terbentuk dari dua perbedaan.

12/4’08
Hariya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar