Kamis, 14 April 2011

Kembali lagi,

“Pagi ma..” Mama yang disapa menatap kaget kearahku, ”kenapa ma? Ada yang aneh?” Tanyaku atas reaksi mama
Mama menyentuh punggungku lembut, ”mama senang kamu udah kembali seperti dulu lagi, sejak enam bulan kepergian Eka kamu selalu menutup diri. Jadi wajar kalau mama kaget dengan perubahan kamu akhir-akhir ini,”
”Mama, udah deh jangan diungkit-ungkit lagi. Masa lalu bukan untuk diingat kan?”
”Ya.. benar, masa lalu bukan untuk dikenang tetapi untuk dijadikan pelajaran. Ayo makan..”
Dengan menggandeng mesra lengan mama aku melangkah menuju meja makan. Memang sejak kejadian enam bulan yang lalu, ketika aku harus merelakan Eka pergi selamanya dari hidupku, aku terus menutup diri. Membuat aku berbeda, membuat teman-temanku kehilangan diriku. Saat itu aku tak tahu harus berbuat apa, aku terlalu kaget dengan masalah yang tiba-tiba menekanku, membuat remuk semua isi hatiku. Namun akhirnya aku sadar, mungkin Eka pun akan marah jika dia melihatku seperti ini. Maka kuputuskan untuk kembali menyemangatkan diriku, mengembalikan diriku seperti dulu lagi, meski aku tahu rasa sakit itu takkan pernah pergi.

Hari ini tepat seminggu aku duduk di kelas 2, rasanya aku kembali ke kelas satu, awal pertemuanku dengan Eka. Dan hari ini pun tepat tujuh bulan kematian Eka, aku baru saja menaburkan bunga di atas timbunan tanah yang tak lagi berwarna merah. Kini timbunan itu telah ditumbuhi rumput-rumput hijau, di pagari bunga mawar putih kesukaannya. Aku masih ingin menghabiskan waktuku dengan mengobrol bersama kumbang dan bunga-bunga, sambil sesekali mengelus mesra ukiran di batu nisan dan foto yang terpajang di depannya.
”Aku kangen sama kamu Ka, aku masih merasa kamu selalu ada di sini,” ungkapku sambil menyentuh dadaku. ”Kamu jahat Ka, kenapa sih kamu tinggalin aku? Seharusnya kamu tahu kalau aku saya..ng banget sama kamu. Aku masih ngga rela kamu pergi..”
Aku menghapus air mata yang mengalir di pipiku, ”aku tahu Ka,kamu pasti ngga suka lihat aku kayak gini, makanya aku datang buat minta maaf. Maaf kalau aku udah membuat kamu ngga tenang di alam sana, aku janji aku ngga akan ngulangin lagi. Dan sekarang, hari ini juga aku akan memulai hidupku yang baru, aku akan kembali seperti Lena yang dulu lagi. I’m promise!!”
Saat aku berdiri, wajah itu segera berpaling dari arahku. Aku menatapnya dengan heran, namun cowok itu segera berlalu. Aku pun hanya mengangkat bahu tanda bingung, kemudian tersenyum ke arah nisan, dan kupastikan Eka pun tersenyum melihatku kembali seperti dulu lagi. Akhirnya aku bisa mengatasi kemelut hidupku.

”Aduh!! Mama kok ngga bangunin aku sih ma..!” Pekikku dari atas tempat tidur. Mama yang sedang membereskan bukuku hanya menggeleng pelan.
”Mama ngga hanya bangunin kamu doang, mama juga nyiram kamu makanya kamu bisa sadar..”
Aku segera berangkat dari tempat tidur sambil merengut. Gila! Ngga pernah aku terlambat sampai jam segini, 06:40 angka yang selalu menunjukkan jadwalku menjejakkan kaki di halaman parkir. Dengan mandi tanpa sabun alias mandi burung aku berangkat sekolah, dan ku harap parfum di sekujur tubuhku membantu menghilangkan jejak ketidakmandianku.
Yang namanya telat tetap telat kecuali aku adalah seorang anggota Hero yang dapat menhentikan waktu. ”Kenapa terlambat?!” Itulah pertanyaan lembut nan sadis dari bu Endang yang dapat dipastikan awal dari penghormatan terhadap tiang bendera. Dengan menahan silaunya matahari aku menghormati bendera merah putih, aku berpikir kenapa sih cuman sehelai kain yang diberi warna merah dan putih saja harus dihormati sehormat-hormatnya. Namun aku tahu itu bisikkan para setan penjajah yang ingin aku kehilangan rasa nasionalismeku.
Aku menyipitkan mataku untuk memastikan ingatanku tentang cowok yang baru saja keluar dari ruang kepala sekolah. Dia menatapku dengan kening berkerut juga, aku berniat menatapnya lebih lama kalau saja aku tidak melihat wajah angker di sampingnya, yang tak lain milik pak Kepsek, pak Asril. Pasti cowok itu anak baru di sekolah makanya pak Asril menatap angker padaku, karena malu kesan pertama seorang murid pindahan jelek pada sekolah yang dipimpinnya. ManDul, Mana Duli EGP Emang Gue Pikirin L.A Enjoy Aja...
”Loe ngga papa Len?” Tanya Tuti saat sedang asik menikmati yang namanya Jus,
”Ya lumayanlah..dua jam lebih disinari oleh sang mentari ngga bakalan bikin gosong kok,”
”Loe kok bisa telat sih? Parah lagi..”
”Mana aku tempe.. mungkin keasikkan mimpi kali’”
”Emangnya loe mimpi apa?”
Aku menatap tersipu-sipu ke arahnya, ”ya ampun Lena..! Jangan bilang loe mimpiin Eka lagi..”
Aku terpaksa membekap mulutnya yang terlalu terbuka saat ngomong, ”emangnya kenapa? Salah?” Tanyaku bego
”Bukan salah lagi, tapi dodol!!”
”Dodolkan enak dimakan..”
”Dasar bego go go.. udah deh Len, bisa ngga sih loe lupain Eka, dia tuh udah pergi Len..”
Aku hanya diam,
”Dia udah ngga ada, jadi loe ngga bisa berharap apa-apa lagi..”
“Eka tuh ngga bisa pergi dari hati aku Tuti!”
”Tapi dia udah ngga ada!!”
“Dia masih ada, senggaknya di sini..” Aku menatap ganas pada Tuti sambil menunjuk dadaku
“Kenyataannya dia udah ngga ada, dia udah mati Lena!!”
Bukk!! Aku memukul meja kantin membuat kaget semua yang sedang makan disana. Aku nggak bisa mengucapkan apa-apa untuk Tuti, yang pastinya ngga nyangka perbuatanku barusan. Aku segera berlari keluar kantin, dan itu membawaku pada masalah lain. Aku menubruk punggung cowok itu, ”hah..ssori..sori..!!” Kataku sambil menghapus air mata tentunya, aku ingin segera berlalu andaikan..
”Tunggu!” Kata itu tak keluar dari mulutnya. ”Loe udah nabrak orang main tinggal aja, bantuin bereskan buku gue yang jatuh dong..” Ujarnya, datar namun dingin.
Dengan malas aku berbalik kearahnya, ”sori, aku cuman mo ke wc bentar cuci muka.” Balasku, apa dia ngga bisa lihat mataku yang semerah lipstik para waria yang sering mangkal di pinggir jalan apa? Seteganya masih nyuruh bantuin bawa bukunya.
Dia ngga berkata apa-apa, hanya terus melanjutkan perjalanan menuju kelas II IPA 2 seberang kelasku. Akupun ikut-ikutan diam dan seperti anak bebek mengikuti ekor induknya menuju kandang. Setelah meletakkan bukunya ke atas meja aku segera berlalu, namun kali ini bukan kata tunggu yang membuatku berbalik, tapi posisi duduknya mengingatkanku pada posisi duduk Eka dulu. Sudut belakang sebelah dinding, tempat paling strategis untuk menyejukkan mata dikala mengantuk dan berhadapan dengan posisi dudukku.
”Loe kenapa mandangin meja gue kayak gitu?”
Aku terkaget sebentar, namun aku hanya menggeleng sedih kemudian melanjutkan langkahku. Dan di ambang pintu Tuti menyambutku dengan senyum seorang sahabat. Aku pun menyambutnya kemudian kembali ke kelas dengan iringan bel. Tuti ngga bilang maaf padaku, aku tahu alasannya. Aku memang harus berhenti berharap Eka kembali padaku lagi. Dan hari ini pun berakhir tanpa ada yang membuatku tertawa.

Aku baru saja keluar dari pekarangan rumah ketika cowok itu berlalu di hadapanku. Aku bertambah penasaran, rasanya dia selalu menguntuitku, kalau tidak kenapa dia selalu ada disekitarku? Aku memilih tidak memperdulikannya karena hari ini aku akan mengunjungi Eka, maksudnya berziarah. Dan aku tak ingin rasa bahagia ini terusik oleh sesuatu yang ngga terlalu penting. Dengan pelan sambil bersenandung aku melangkah ke arah timbunan tanah yang terletak di pojok pemakaman ini. Aku menghabiskan satu jam hanya untuk mengenang masa-masa indah tujuh bulan yang lalu. Meski aku tahu itu akan memperlambat kesembuhan luka dihatiku.
Aku membatalkan gerakkan tanganku yang hampir menyentuh pintu mobil saat aku mengenali wajah itu. Cowok yang kulihat pertama kali di pemakaman ini, yang tertabrak olehku, yang duduk di posisi Eka di kelas, berlalu dari depan rumahku, dan yang saat ini tengah berdiri melamun di atas motornya. Aku tak bisa menahan rasa penasaran ini lagi,
”Kamu nguntit aku ya?!” Tanyaku tak ramah,
Dia menoleh, menatapku aneh. ”Apa?!”
Gantian aku yang oon dengan jawabannya, aku bingung untuk membalas atau tidak kekasarannya kemarin. “Mm..ngga, mm..cuma penasaran doang, kok kamu juga sering kesini?”
“Ngga boleh?!”
Tuh, kok malah dia yang jadi galak, huh!
“Ini pemakaman umum kan? Yang di kubur di sini bukan cuman cowok loe doang,”
“Apa sih maksud kamu?! Kamu ngga usah sok tahu,”
“Oh,jadi itu bukan kuburan cowok loe, kuburan siapa?”
“Bukan urusan kamu!”
“Ups! Iya ya..itu bukan urusan gue, kalau gitu loe juga ngga usah pake nanya ngapain gue kesini karena itu.., bukan urusan loe.”
Aku kehabisan kata-kata, dasar cowok aneh tapi..aku ngga bisa dibikin penasaran, hm.. “Umm.., gimana kalau kita temanan aja. Kamu cerita tentang siapa kamu dan aku juga bakal cerita siapa aku, deal?”
Dia berpikir sebentar sebelum memberi jawabannya yang membuatku semakin penasaran. “Gue udah tau siapa loe, jadi batal.”
Aku ternganga, “kok bisa? Memangnya kamu siapa sebenarnya?”
”Gue.. Mm.., oke. Kenalkan gue Guntur,”
”Aku..”
”Loe Lena. Gue udah lama tahu siapa loe, meskipun kita ngga pernah berhubungan sebelumnya. Dan gue juga tahu, itu kuburan cowok loe kan?”
Aku mengaku kalah, ”bener, tapi dia bukan cowok aku. Sebetulnya mungkin hanya aku yang menyayangi dia, dia begitu berarti buatku.. Tunggu! Memangnya kamu tahu dari siapa tentang semua ini?”
”Kayaknya lebih enak kalau kita ngobrolnya di tempat yang layak, jam enam di cafe dekat taman malam ini. Gue jemput.” Kemudian dia melenggang pergi meninggalkan aku yang masih terpaku, betul-betul membuatku penasaran.

”Jadi dia bukan cowok loe?”
Aku mengangguk, ”selama setahun lebih aku menyimpan semuanya. Meskipun dia tahu apa yang aku rasa dia tetap ngga ngasi kepastian. Aku terombang-ambing di antara ketidakpastian dari Eka, mungkin itu yang membuat aku masih menyimpan semuanya..rasa penasaran yang dibawa pergi dan tak mungkin kembali untuk memberi jawaban pasti.”
Guntur diam,
”Eeh, aku udah cerita sekarang giliran kamu..” Desakku mengusik diamnya,
”Waktu itu orang yang suka sama gue ninggal karena sakit. Gue baru tahu tiga menit sebelum dia pergi untuk selamanya, dan gue ngerasa bersalah banget. Saat gue mengunjungi makamnya setelah seminggu, gue liat rombongan loe. Awalnya gue cuman pengen ikut acara pemakaman Eka karena gue tahu rasa sedih yang kalian rasakan. Tapi, saat gue liat loe bertahan di sana, dengan wajah yang gue sendiri ngga bisa lukiskan. Mulai hari itu gue selalu ngeliat loe datang dengan mawar putih di tangan, dan gue mulai memperhatikan loe sejak saat itu. Dan gue tahu semua tentang loe dari penjaga kuburan yang juga tahu siapa loe saking seringnya loe ke sana. Dengan memperhatikan loe, gue jadi tahu betapa terkutuknya gue yang mencuekkan seseorang yang mencintai gue selama tiga tahun lebih.”
Panjang lebar penjelasan Guntur membuatku diam. Ternyata aku dan Guntur berada di dua posisi yang berbeda dan satu posisi yang sama. Sama-sama ditinggalkan seseorang yang berarti, namun aku mencinta dan Guntur dicinta. Ternyata Tuhan mempertemukan aku dengan Guntur untuk aku tahu bahwa luka itu bukan hanya milikku.
”Woi!! Loe ngelamun?”
”Hah?! Ngga..ngga.., eh kok bisa kamu ngga tahu perasaan dia selama ini?”
”Gue orangnya memang cuek, dan bagi gue cinta itu ngga ada. Makanya gue jutek sama loe selama ini karena gue iri kenapa loe bisa punya rasa cinta yang sebesar itu buat Eka. Padahal cinta itu ngga mungkin pernah ada.”
Aku menyeruput minumanku sebelum menaggapinya, “kamu pernah dilukai ya, sampe dendam kayak gitu sama yang namanya cinta?”
Guntur hanya mengangkat bahunya,
“Sebenarnya aku juga ragu apakah rasa itu benar-benar rasa cinta atau hanya rasa penasaran yang berlebihan? Yang pasti rasa itu dulu benar-benar menjadi selimut bagi hatiku, rasa yang menurutku adalah cinta, tapi sekarang..”
“Apa”
“Sekarang.., aku hanya merasa terbeban untuk tetap menyukai Eka, bukan lagi karena dorongan hati..”
Guntur menatapku dalam kebisuan, dan selanjutnya kami sama-sama tenggelam dalam rasa masing-masing, hingga kami tidak menyadari dalam kebisuan kami berusaha untuk saling memahami. Aku merasa aku memahami dirinya, tanpa aku tahu apa begitu juga sebaliknya atau tidak.
Kini aku dan Guntur menjadi teman dekat, seminggu setelah terjadi keterbukaan di antara kami, aku dan Guntur merasa cocok. Kedekatan kami cukup intim, seakan kami sedang jatuh cinta. Dan itu mulai kurasakan setelah sebulan lebih kedekatan kami. Guntur terlalu polos dalam kedekatan kami, sewajarnya Lina mempunyai rasa cinta yang begitu lama dengan sikap Guntur seperti ini. Pastinya itu membuatku ragu untuk menyatakan apa yang kurasakan, dia tak seperti Eka. Guntur sedikit berbeda.

”Gun, kamu udah ngga sentimen lagi sama yang namanya cinta?” Tanyaku saat aku dan Guntur sedang memancing,
Tanpa mengalihkan perhatiannya Guntur menjawabku, ”mungkin selamanya gue ngga percaya cinta, yah.., meskipun gue nantinya kawin gue ragu itu karena cinta..”
Aku ngga kaget dengan jawaban Guntur, sudah tertebak jauh sebelum aku bertanya. Ternyata Guntur merasa kalau aku sedang menatapnya nanar,
”Eh loe kenapa? Kaget dengan jawaban gue, lagian loe nanyanya aneh..”
Aku menggeleng pelan, ”aku ngga kaget sama jawaban kamu, itukan memang prinsip kamu dari dulu..”
”Kok suara loe ketus gitu sih, loe lagi ada masalah ya?” Akhirnya dia menghentikan keasyikannya dan menghampiriku, ”bilang dong sama gue masalah loe, gue pastiin gue bisa bantuin loe.”
Mana mungkin, aku udah tau kok jawabannya. Sahutku dalam hati, sebagai jawaban untuknya aku hanya merengut didepannya membuatnya semakin penasaran.
”Lena, loe kenapa sih? Ada yang salah sama kata-kata gue atau loe lagi jatuh cinta trus cinta loe ditolak?” Yup betul! Kata hatiku lagi, ”eh, tapi itu ngga mungkin.loe kan cinta mati tuh sama Eka, cowok pentium delapan itu..”
”Kamu kenapa sih ngingatin aku lagi sama dia?” Aku beringsut dari batu dan menuju tepi sungai,
”Aduh.., gue salah omong lagi. Maaf deh Len, ya ampun segitunya loe ngambek.. Lena..” Aku tak menanggapi rayuannya.
Guntur mendekatiku, masih sambil terus merayu dia mencoba menghiburku. Akhirnya kutemukan ide agar dia ngga merasakan perasaanku. Saat kakinya berada lebih dekat ke bibir sungai dengan enteng aku mendekat dan tanpa dia sangka aku mendorongnya ke sungai, namun malang dia dengan cepat menarik tubuhku juga.
”Ha..ha..ha..ha.. Makanya jangan suka ngerjain orang!” Serunya berasa menang.
”Guntur jahat!!” Seruku balik, dan kami pun bermain kejar-kejaran di dalam air sampai lelah.
”Huh..ternyata loe kuat juga ya pertahannya..hah..capek gue..” Guntur memejamkan matanya kelelahan dan kamipun berbaring di rumput tepi sungai. Aku menatapnya sedih, oh Tuhan..jangan menempatkan aku di posisi ini lagi, aku lelah Tuhan. Aku mohon.., hapus rasa ini. Aku ikut memejamkan mata, namun disela-sela air yang menetes dari keningku ari mataku ikut nimbrung, bergabung membasahi pipiku. Namun, aku tiba-tiba merasakan sebuah tangan yang dingin menghapusnya. Aku membuka mataku perlahan, Eka berada diatasku, dia membungkuk untuk mengecup pipiku yang dialiri air mata, dan Eka menghapusnya dengan belaian lembut.
”Len,” aku membuka mataku, bukan Eka yang ada di atasku, tetapi Guntur. Matanya menatapku dengan cinta, aku jadi tak mengerti. ”Len sori kalo gue bohong sama loe, sebenarnya gue suka sama loe..gue ngga suka liat loe nangis..”
”Gun, loe lagi mimpi?”
”Ngga, ini nyata Len. Gue ngerti kalo ini memang sulit dipercaya. Tapi gue benar-benar jatuh cinta sama loe. Seandainya cinta loe ada buat gue..”
”Gun, kamu tau apa yang aku rasa, jadi apa perlu aku menjawabnya lagi?”
Guntur menggeleng pelan, tanpa berkata lagi dia menciumku pelan. Tuhan, Engkau menyatukan perbedaan posisi ini menjadi lebih indah, semoga Eka dan Lina juga bahagia disana. Dan selamanya aku pun bisa bahagia bersama Guntur di sini.


the end

1/10’09
aya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar