Minggu, 03 April 2011

Tentang Aku..




Mengingat masa balita membuat ku tak begitu senang… mungkin karena tak banyak kenangan yang dapat aku rasakan secara langsung…

Ayah dan ibu ku dulu tinggal di Nanga Beloh, daerah pedalaman Sintang, karena mereka mendapat tugas sebagai guru di sana. Disanalah kakak ku dan aku dilahirkan. Sebelum aku lahir, seluruh kasih sayang tercurah pada kak Elok. Semua tetangga dan sahabat orang tua ku menyukai dia. Hingga dia berumur tiga tahun, ibu memberitahunya bahwa aku akan lahir. Dia begitu marah dan membenci aku yang masih menghisap tali pusar ibu. Dia selalu menendang ku ketika aku masih dalam perut. Hmpfh..!! sungguh tak diinginkan diri ku olehnya.
Saat aku lahir, kak Elok mulai menyukai ku, mungkin karena aku memang bayi yang sangat manis (hehehehe…narsis dikitlah..). Namun, kebahagiaan ku mulai disertai kegundahan. Ayah ku mendadak sakit. Kata ibu, ayah selalu mengeluh sakit dipinggangnya, sampai-sampai ayah tak bisa bangun dari tempat tidur. Aku sungguh tidak dapat menggambarkan betapa repotnya ibu harus mengurus ayah, kak Elok, dan aku. Sampai-sampai aku lebih banyak berada di gendongan orang lain dari pada ayah ku sendiri. Beban ibu semakin bertambah karena kala itu ternyata ibu sedang mengandung adik bungsu ku, Fenty. Dapat dibayangkan bukan betapa besar pengorbanan ibu kala itu.
Sebagai manusia biasa, ibu juga merasa lelah dengan semuanya. Ibu kemudian memutuskan untuk pindah dari sana, dengan harapan dapat membawa ayah ke tempat pengobatan yang lebih baik. Harapan itu didukung oleh sahabat dan rekan kerja orang tua ku, meski sebenarnya mereka merasa sangat kehilangan. Aku yang mungkin belum dapat mengerti air mata ibu saat itu hanya bergeliat manja dalam dekapan kak Mini, seorang anak yang memutuskan untuk mengikuti orang tua ku dan menjadi anak angkat ibu. Akhirnya kami keluar dari perkampungan itu.
Pindah tugas ternyata bukanlah hal yang mudah. Meski dalam keadaan sakit parah, ayah dan ibu terus meminta perizinan untuk pindah. Hingga diputuskan kami akan pindah ke daerah Jelimpo, pedalaman lagi. Hal itu membuat ibu ku kembali bergumul dengan berat. Harapannya untuk mengobati ayah ke tempat yang lebih baik seperti terpental menabrak tembok. Sebelum pindah ayah diizinkan untuk berobat ke Serukam. Untuk bolak-balik ke sana, kembali aku dan kak Elok terdampar di rumah keluarga di Mempawah. Kembali aku tidak merasakan kasih sayang orang tua. Aku yang mungkin merasa kekurangan perhatian selalu mengusik ayah yang terbaring lemah di kasur. Merengek minta digendong, tapi yang ku dapat mungkin hanya tetesan air mata.
Ternyata Tuhan memiliki cara tersendiri untuk mengeluarkan anak-Nya dari masalah yang sedang dihadapi. Sekolah yang menjadi tujuan perpindahan orang tua ku tidak dapat ditemukan. Meski sudah berkali-kali berputar di daerah itu, yang terlihat hanya lapangan kosong, tak ada satu bangunan pun apalagi sekolah. Itulah muzijat Tuhan, yang akhirnya kami dipindahkan ke dusun yang hingga sekarang kami tempati, yaitu dusun Antan Rayan. Banyak yang tak habis pikir dengan kejadian ini, namun sebagai keluarga yang takut akan Tuhan, kami percaya itu adalah pekerjaan tangan Tuhan.

Begitu lama aku tak merasa dekapan hangat ayah dan ibu ku, sehingga aku tak mampu mengingat sedikit pun tentang masa kecil ku. Tak ada satu ingatan pun yang muncul di kepala ku meski aku sudah berusaha menyelam jauh ke dalam memori otak ku. Itu membuat ku merasa sedih dan sakit, sakit yang mungkin tak dapat diobati. Aku hanya merasa iri pada kak Elok yang sering bercerita tentang kehidupan kami di Nanga Beloh dulu, yang tinggal di rumah lanting, mencari ikan Arwana alias Siluk, berburu burung, dan bermain dengan teman-teman di sana.
Meski aku harus kehilangan masa kecil ku, tapi aku tidak akan marah pada Tuhan. Aku mengerti, semua itu adalah rancangan Tuhan yang memang selalu indah pada waktu-Nya. Ayah kembali sehat dan normal meski sempat didagnosa akan lumpuh selamanya, lagi-lagi keanehan terjadi, dokter tak mampu menentukan penyakit apa yang menimpa ayah, karena ketika di rontgen tubuh ayah normal semuanya. Itu berarti memang Tuhan menghendaki kami untuk keluar dari pedalaman itu. Sehingga aku dan saudara-saudara ku dapat mengecap pendidikan yang lebih baik. Pekerjaan ayah dan ibu juga lancar, dan kami sekeluarga menjadi keluarga yang hidup berkecukupan dalam segala hal.
Kurangnya kedekatan ku dengan ayah dan ibu selama kurang lebih empat tahun membuat ku lebih mudah dekat dengan orang lain ketimbang mereka. Kemandirian dan kedewasaan ku mulai terlihat sejak aku memasuki sekolah dasar. Aku sering mencari tambahan uang jajan dengan membantu orang lain berjualan kue, kerupuk, es, bahkan buah nangka atau jambu air yang sudah masak di kebun akan aku jual. Tak jarang pula aku ikut teman-temanku yang tinggal di perkampungan untuk mencari Kepah (sejenis kerang) di sungai Banyuke, sampai-sampai kami dikejar buaya dan nyaris menabrak ular besar yang melintangi jalan kami. Bahkan saking jauhnya berpetualang, kami pernah dikejar orang-orang berbaju hitam, yang isunya waktu itu mengincar anak-anak dan menculik. Beruntung kami tak menjadi satu di antara korban mereka. Oh iya, Aku juga sering ikut bibi ku mencari buah Tengkawang (biasanya diolah menjadi minyak) di hutan, dan uangnya murni untuk ku. Sejak aku kelas lima, aku mampu membeli sepatu dan baju baru dengan uang hasil tabungan ku di Gereja dan sekolah.
Kisah masa SD ku bukan hanya seputar petualangan seru di atas, tetapi juga seputar ketenaranku di dusun ku (sombong….). di dusun ku aku dikenal sebagai seorang anak yang ramah, baik, dan pintar. Sebelum berangkat sekolah aku akan membantu ibu mencuci baju, itu karena kak Elok harus berangkat sekolah pagi (kak Elok SMP di Ngabang, dan dia harus PP). Setelah mencuci aku mengambil kerupuk di tetangga untuk ku jual, dan sepanjang jalan aku akan menyapa siapa saja yang aku kenal. Di sekolah, aku dikenal sebagai anak yang pintar, selalu menduduki posisi kedua umum di sekolah, meski ada kalanya aku harus kalah dari sahabat ku Desi dan juga sesekali menang dari sahabat ku juga, Heri yang selalu berada di posisi pertama. Selain pintar, mereka juga mengenal ku sebagai sosok yang asik, meski terkadang mereka segan bermain denganku karena status (kalau di film-film aku menjadi tokoh utama yang populer hehehe…. ).
Melihat kisah ku di atas pasti orang-orang akan mengira aku benar-benar menjadi tokoh utama seperti di sinetron, seorang gadis baik yang sepertinya tak ada cela. Benarkah begitu??.. hehehe akan aku ceritakan apa saja keburukkan ku. Aku sebenarnya anak yang melankolis, cengeng adalah bahasa mudahnya. Sebelum kak Elok masuk SMP aku sering merepotkannya dengan tangisan ku setelah aku berkelahi dengan teman cowok. Bahkan, meski pintar dan di sayang guru, aku juga sering bolak-balik ke ruang BP. Penyebabnya banyak rupa, dari bolos, jahil, provokator keributan di kelas, bertengkar, tonjok-tonjokkan, sampai merusak kaca jendela sekolah dengan bola voli.
Namanya juga anak-anak, manusia fana lagi, pastinya aku memang memiliki kelemahan di balik kelebihan ku. Selain nakal, aku juga tertutup sehingga ibu dan ayah sulit tahu apa yang sedang aku alami. Kenakalan tadi hanya segelintir kecil dosa yang aku lakukan waktu kecil. Mungkin karena tertutup, aku sering memendam masalah ku sendiri yang membuat pikiran ku sering meracau. Aku pun mulai berteman dengan orang-orang yang punya kebiasaan buruk. Hal itu membuat aku harus sering mendapat pukulan dan omelan dari ayah dan ibu. Aku juga sering membentak ibu ku. Saat ibu mengomel dan memarahi ku, aku akan melawannya dengan suara yang jauh lebih keras. Itu karena pada dasarnya aku bukanlah orang yang mudah menerima kritikan, dan aku juga temperamen. Jika marah, semua yang ada didekat ku akan menjadi sasarannya, termasuk manusia. Bersyukur semua itu berubah di kala aku beranjak dewasa, dan bertobat.
Aku juga bukan tipe anak yang sering meminta pada orang lain, termasuk pada orang tua ku. Kecuali aku benar-benar menginginkan benda atau sesuatu untuk ku lakukan, aku akan berusaha mendapatkannya dengan atau tanpa disetujui orang tua ku. Meskipun begitu, ibu tetaplah seseorang yang mengenal anaknya sejauh apapun anknya bersembunyi. Maka dia tahu apa yang sedang aku butuhkan dan inginkan, meski terkadang tidak selalu dapat ibu penuhi. Terbukti, tanpa ku minta ibu membelikan ku sebuah diari.
Sejak kecil minat seni dan membaca ku sudah tampak. Aku sering masuk kelas meski waktu itu umur ku masih lima tahun, aku mulai ikut-ikutan mengeja huruf dan mengenal angka. Sehingga waktu aku masuk sekolah aku dengan mudahnya cepat lancar membaca. Kami juga sering dibawakan buku-buku cerita bergambar dari sekolah, dan ibu mulai membentuk perpustakaan kecil untuk kami. Aku juga sering menggambar, aku dan sahabat ku Heri sering menghabiskan waktu bermain kami di bawah pohon rindang untuk melukis, juga terkadang sembari menunggu pancingan di kolam. Aku bahkan menjadi asisten guru senam ku untuk melatih senam siswa di sekolah, menari di gereja, bernyanyi, bahkan bermain drama. Dan ibu ku, selalu mendukung ku secara fisik dan mental.
Keseringan membaca membuat ku sering berkhayal, terkadang tanpa sadar aku mulai menulis iseng di buku pelajaran ku. Apalagi saat itu aku sering melihat kak Elok menulis diari, aku secara diam-diam membacanya, dan aku tertarik untuk ikut-ikutan menulis diari. Untung ibuku peka, jadi aku pun dibelikan sebuah diari. Meski sebenarnya tidak mengerti apa itu diari, bagaimana menulis, apa itu alur, dan lainnya, aku tetap menulis. Aku ingat, saat itu umurku sepuluh tahun, saat dimana aku mulai beranjak remaja dan mulai berangan menjadi pembuat cerita-cerita seru seperti yang sering ku baca.
Kemandirian ku semakin menebal ketika akhirnya aku harus mau menemani kak Elok untuk sekolah ke Mempawah dan tinggal bersama paman dan bibi ku. Di sanalah aku mulai semakin memperlihatkan keburukkan ku. Perasaan senang karena pujian dan tidak suka untuk di kritik membuat ku kembali harus terjun pada kenakalan remaja, aku hampir menjadi anak perokok kala itu. Lagi-lagi aku hanya melakukannya sekali, karena Tuhan masih sangat sayang pada ku. Rasa sakit karena tersedak membuat ku jera dan tahu, merokok itu tak seenak kelihatannya.
Sejak SMP, aku mulai sering berbohong. Aku sering mengaku belajar kelompok, namun sebenarnya aku sedang ikut nongkrong atau balap-balapan sepeda di gor. Berhubung nilai-nilai ku selalu bagus, keluarga percaya begitu saja pada ku. Hingga suatu hari aku pulang dengan wajah bengkak karena ditonjok orang (orang gila hehehehe..). Akhirnya ketahuanlah kenakalan ku, tapi mana duli.. Aku juga menjauh dari Tuhan, aku sering menyimpang ketika berangkat ibadah, atau terang-terangan menolak ke gereja. Hal itu membuat kehampaan dan kekacauan di hati ku yang aku tak pernah mengerti semakin memuncak. Namun, satu hal yang tak pernah bisa lepas, yaitu diari ku. Meski menjadi anak nakal, diari tetap menjadi teman setia ku.
Syukur tetap aku panjatkan karena semua yang aku alami dulu menjadi sebuah pelajaran dan pengalaman luar biasa dalam hidup ku. Hal itu aku sadari ketika akhirnya SMA aku dimasukkan ke sekolah berasrama di Ngabang. Meski sekolah berkualitas tinggi dan dapat bersama-sama lagi dengan Heri, tapi aku merasa benci. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak lulus tes masuk, tapi aku tetap masuk. Aku sekeras tenaga menjadi anak nakal dan tidak disukai, tapi kebalikkannya, aku punya banyak teman dan dua genk (ceritanya dapat dibaca lewat novel yang sedang ku tulis, miss slowly dan the diva). Akhirnya aku menyerah pada apa maunya Tuhan, dan disanalah aku bertobat.
Seperti yang sudah ku katakan, sekolah ku itu adalah sekolah berkualitas, memiliki SD, SMP, dan SMA. Sekolah ku menjadi sekolah pertama yang punya lab komputer, lab bahasa, bis sekolah, perpustakaan yang kaya dengan buku-buku dari dalam dan luar negeri, ekskul yang banyak mulai dari basket, bola kaki, voli, bulu tangkis, menari, teater dan drama, kerajinan tangan (menyulam, melukis, menjahit), kelas musik. Sekolah ku juga sering mengadakan pelatihan, baik untuk orang tua maupun siswa. Seperti pelatihan kesehatan untuk orang tua, pelatihan minat dan bakat untuk siswa sesuai ekskul yang diikuti. Selain itu, pihak yayasan juga sering mengajak orang-orang hebat ke sekolah. Seperti pemilik Universitas Pelita Harapan yang juga pengusaha hebat di Indonesia, pemilik Matahari Mall, pemenang olimpiade-olimpiade tingkat nasional dan internasional, penulis hebat, penyanyi hebat, pelukis hebat, bahkan anak dari pemain drum terkenal di Indonesia pun pernah memberi pelatihan di sekolah, di tambah juga seringnya orang-orang asing (Amerika, Singapura, Belanda, Australia) yang berkunjung di sekolah membuat kami sangat beruntung bersekolah di sana.
Semua dukungan dari sekolah dan orang tua membuat ku semakin memupuk mimpi ku untuk menjadi penulis hebat dan sutradara besar di kemudian hari. Pertemuan ku dengan penulis terkenal, bunda Yvone, menyulut keberanian ku untuk mulai memperlihatkan hasil tulisan ku. Beliau begitu banyak memberi masukan, dan hal itu membuat ku memenangkan lomba-lomba menulis di sekolah. Hal yang semakin membuat ku berani untuk menulis lebih dari sekedar cerpen.
Banyaknya cerpen yang ku tulis membuat perpustakaan berkurang pengunjungnya (lebai….). Aku tidak bisa menggambarkan kebahagiaan yang muncul di hati ku ketika teman-teman begitu senang membaca karya ku, sampai-sampai ada yang menangis, tertawa sendiri, kesal sendiri, dan sumringah ketika membaca. Sampai suatu saat ketika masa SMAku akan berakhir, aku berjanji pada teman-teman ku untuk membuat sebuah novel tentang kami berempat (The Slowly). Janji itu terus menghantui ku, karena aku sering kehabisan ide untuk melanjutkan ceritanya. Namun, aku tak akan menyerah, aku akan memanfaatkan segala kesempatan yang ada untuk menulis.
Kuliah, adalah hal yang kami nantikan untuk mengekspresikan diri kami. Tapi, lagi-lagi aku mengalah pada orang tua ku, mereka tak menyetujui aku untuk masuk sekolah sastra, dan mereka sedikit memaksa ku untuk sekolah di keguruan karena masa depan ku akan terjamin katanya. Jadilah aku seorang mahsiswa Untan fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, prodi Bahasa dan Sastra Indonesia. Ternyata di perkuliahan, aku lebih banyak sibuk di organisasi ketimbang di depan tulisan ku (mungkin karena laptop makainya gantian hehehe..). Kesibukan mengerjakan tugas kampus pun menjadi satu alasan aku mulai kehabisan waktu untuk menulis lagi.
Akhirnya, aku bingung..bagaimana aku dapat mencapai cita-cita ku dengan langkah yang tersendat-sendat seperti ini? Aku juga tidak punya kenalan untuk menerbitkan karya-karya ku. Aku sering mendapat pelajaran menulis, tapi lebih pada menulis artikel yang bukan bidang ku. Aku sedang dalam dilema, dan itu membuat ku tersiksa. Karena tidak menulis berarti aku hanya bermain dengan ide di kepala, dan itu sangat melelahkan, menyakitkan, dan mengesalkan.
Namun di tengah kegalauan ku, aku ingat..aku menjadi penulis karena aku punya tujuan. Tujuan ku adalah ingin menginspirasi orang lain lewat tulisan ku sehingga menjadi berkat bagi orang lain dan mendapat kebahagiaan yang dulu pernah ku rasakan di SMA. Hal itulah yang menjadi motivasi ku untuk tetap menulis sesulit apapun aku membagi waktu. Dan aku berkhayal, aku akan terus menulis, kalaupun aku berhenti menulis, itu berarti aku juga berhenti bernafas. Tetapi, bukannya memang selama hidup orang akan selalu menulis?? Yah minimal menulis cek hehehehe….lagian orang mati kan gak bisa nulis lagi…hihihihi.. ^_^

1 komentar: