Naskah Drama
Tema : Sosial (Kehidupan remaja)
Judul : RASA..
Pemain : RIA TRI WAHYUNI sebagai ESSI
RAYMUNDUS WENDY sebagai EDO
ONGTIANA SEVIDRA sebagai VINA
HARIYA OKTAVIANY sebagai OKTI
NUREMI sebagai LIA
UTARI sebagai DINA
HADILAH sebagai EVI
JUNIARTI sebagai BU ANI
JUMANUS sebagai PAK EDI dan PENJUAL
SABINUS SASMI sebagai ENDA dan POLISI II
TRIYONO sebagai IPAN
Dosen Pengampu : Drs. Parlindungan Nadeak, M.Pd
Martono, M.Pd
April 2011
21.20
Babak I
Adegan I
Pria itu setengah berlari menyusuri lorong dengan gunting di tangan kanannya yang berlumur darah. Dibelakangnya seorang pria menyusul dengan muka marah, tidak jauh di belakangnya menyusul dua pria berseragam.
Pria I : “Aku tidak melakukannya..aku tidak melakukannya..!!!” (sambil mengacung-acungkan guntingnya)
Pria II : “Kau harus bertanggung jawab, aku tidak akan melepaskanmu..! (sambil meninju)
Polisi : (menahan pria II) “Cukup, masalah ini akan ditangani polisi, anda jangan main hakim sendiri..”
Pria II : (mengacungkan telunjuknya) “Dia membunuhnya..dia pembunuh! Aku akan membunuhnya juga..!”
Polisi : (menahan pria I) “Ayo ikut ke kantor!”
Pria I : “Tidak..aku tidak melakukannya..” (dengan memberontak)
Polisi : “Silahkan jelaskan di kantor kami, ayo!”
Pria itu diseret menuju kantor polisi, meski kesal pria yang mengejarnya hanya mengikuti dari belakang.
Adegan II
Ruangan itu terlihat lengang, sepertinya tak ada seorang pun yang berada di sana. Lampu yang menerangi pun terlihat temaram, berayun-ayun pelan seperti sedang mengejek seseorang yang sedang berada di sana. Kedua tangannya terborgol dan kepalanya menunduk tak pernah diangkatnya. Raut wajahnya seperti tanpa rasa. Sedangkan didepannya seseorang dengan wajah garang sedang membolak-balik sebuah berkas.
Polisi : “Apa kau sadar dengan apa yang telah kau lakukan?”
Pria itu hanya menggeleng pelan
Polisi : “Mengapa kau melakukannya?”
Lagi-lagi pria itu hanya menggeleng
Polisi : “Apa yang membuatmu melakukan hal itu?”
Gelengan kepala pria itu semakin pelan, bahkan terlihat sangat tertuduh
Polisi : (meletakkan berkasnya) “Apa hubungan kau dan korban?”
Pria : (mengangkat kepalanya pelan) “Kekasih..”
Desember 2010
07.15
Babak II
Adegan I
Ruang makan itu terasa sepi, hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring disertai decakan lidah yang mengunyah. Keluarga Edi sedang sarapan pagi saat itu. Memiliki dua orang anak perempuan, istrinya telah meninggal dunia lima bulan yang lalu. Kematian istrinya membuat Pak Edi berubah sikap terhadap puteri keduanya, Essi. Dia selalu mengandaikan saat itu Essi mau menuruti kata-katanya, tidak mungkin musibah itu terjadi. Tabrakan yang merenggut wanita yang dicintainya tidak mungkin akan terjadi. Essi terlihat sedikit cemas, dengan memberanikan diri diletakkannya sendok dan sapu tangannya.
Essi : “Ayah..”
Pak Edi menggumam kecil,
Essi : (tampak ragu-ragu) “Ayah..apa malam ini aku boleh keluar?”
Evi : “Kau mau kemana?” (sambil meneguk minumannya)
Pak Edi : “Apa acara kampus?” (tanpa menatap wajah Essi)
Essi : (menggeleng) “Bukan Yah, tapi Lia mengajakku ke acara Trend Model malam ini..”
Pak Edi : “Apa kau masih butuh jawabanku?” (kembali melanjutkan sarapannya)
Essi : “Tidak Yah..” (menunduk kecewa)
Essi menunduk, dia tahu acara keluar malam ini pasti tidak akan terwujud lagi. Lebih baik diam dari pada Pak Edi melarangnya keluar akhir minggu ini. Evi ikut meletakkan sendoknya, meneguk susunya kemudian.
Evi : “Ipan mengajakku ikut melihat pameran malam ini, apa Ayah tidak keberatan?”
Pak Edi : “Kau tahu batas keluarnya kan..”
Evi : (tersenyum tipis) “Baiklah, aku akan pulang telat malam ini, makan malam biar aku pesankan..” (berdiri)
Evi mangambil tasnya kemudian berangkat kerja, Essi hanya mendengus kesal melihat tingkah kakaknya. Pak Edi selalu memperlakukan mereka dengan berbeda. Alasannya tak pernah bisa dimengerti oleh Essi. Kakaknya pernah mengatakan Pak Edi berbuat seperti itu karena rasa sayangnya pada mereka. Namun tetap saja Essi tak bisa mengerti. Dengan kesal Essi pun mengangkat tasnya dan berangkat kuliah.
Desember 2010
11.54
Adegan II
Vina baru saja pulang dari kampus, cuaca cerah membuatnya bersemangat, ditambah hari ini dia akan pergi bersenang-senang dengan ibunya setelah seminggu ibunya pergi tugas keluar kota. Dengan senyum lebar dia merebahkan tubuhnya ke kursi. Vina memang hidup berdua saja dengan ibunya, orang tuanya bercerai setahun yang lalu. Sejak itu dia seperti hidup sendirian, ayahnya tidak pernah mengunjunginya, ibunya harus memimpin bisnis butiknya, membuatnya tidak memiliki waktu yang cukup untuk Vina. Namun hari ini Ibu Ani tiba-tiba mengajaknya jalan-jalan, tentunya Vina merasa sangat bahagia. Tidak lama dia mendengar suara sepatu turun dari atas, muncul dari balik pintu seorang wanita yang masih terlihat muda meski pun putrinya sudah berusia 20 tahun. Senyum vina hilang saat dia melihat busana ibunya.
Vina : “Ada apa bu?”
Bu Ani : “Agh..sayang, maafkan ibu, ternyata hari ini ada rapat mendadak jadi acara kita di tunda lagi..” (sambil membelai rambut putrinya itu)
Vina : (menepiskan tangan ibunya) “Selalu begitu, aku paham..” (melangkah pergi)
Bu Ani : “Rapat ini sangat penting Vina, klien menginginkan hasil yang sempurna..”
Vina : (berbalik) “Apakah aku bertanya pada ibu?!”
Vina menutup pintu kamarnya meninggalkan Bu Ani yang hanya menggeleng dan kembali melangkah menuju garasi. Vina mengintip kepergian ibunya, dia tidak percaya ternyata masih ada ibu yang mementingkan orang lain dibanding anak sendiri.
Vina : (meletakkan telepon genggam ditelinganya) “Halo, Dina, apa kau punya waktu?”
Tidak lama Dina datang ke rumah Vina. Dina mendapatkan temannya itu sedang melamun di depan rumahnya. Dengan pelan Dina mendekati sahabatnya itu.
Dina : “Kau membuat bunga itu tidak berani mekar karena tatapanmu..”
Vina : “Apa aku harus memperdulikannya? Bukannya dia hanya setangkai bunga?”
Dina : (mengambil posisi di samping temannya itu) “Kenapa lagi hari ini?”
Vina : (mendengus) “Wanita itu benar-benar sudah tidak peduli lagi padaku..”
Dina : (meletakkan tasnya) “sepertinya hidupmu memang sangat rumit,”
Vina : “maksudmu?”
Dina : (mengangkat bahunya) “ha..ayo bersenang-senang, bukankah malam ini ada acara Trend Model?”
Vina : (tersenyum) “Edo..”
Vina menoleh kearah Dina, dia baru ingat, malam ini Edo, teman SMPnya dan pujaan hatinya yang kini menjelma menjadi seorang model, akan menjadi bintang tamu di acara itu. Tanpa banyak bicara dan sambil tersenyum dia masuk kamar dan mempersiapkan dirinya. Dina tersenyum tipis melihat tingkah temannya, kemudian menyusul Vina dari belakang.
Desember 2010
19.20
Adegan III
Malam ini acara Trend 2010 akan diadakan dalam rangka akhir tahun. Lia dipercayakan untuk menjadikan modelnya sebagai bintang tamu malam ini. Dengan gelisah Lia membolak-balik telepon genggamnya. Edo masih belum terlihat batang hidungnya, padahal pukul 19.30 acara sudah mulai. Enda yang juga menjadi bintang tamu malam itu merasakan kegelisahan Lia. Dia sendiri sudah bersiap dari tadi, dia menghampiri Lia.
Enda : “Aku sudah menghubungi Okti, katanya mereka sedang dalam perjalanan, apa kau sangat khawatir?” (sambil mendekati Lia)
Lia : “Apa masih harus dijelaskan?” (memalingkan mukanya)
Enda : “Hm..hm..Edo sudah datang..”
Lia : “Dimana?”
Enda : “Diparkiran..”
Lia : “Apa aku terlihat begitu lucu??” (terlihat marah)
Enda hanya tertawa, Lia memang wajar merasa khawatir dengan keterlambatan Edo. Lia bisa dikatakan sebagai manajer mereka berdua, tapi karena Edo masih kuliah juga maka Edo adalah anak buah yang paling merepotan bagi Lia. Tidak lama dua orang masuk dengan tergesa-gesa.
Edo : “Apa aku akan dipecat?” (langsung membuka jaketnya dan merapikan pakaiannya)
Okti : “Maaf, aku tertidur..” (meletakkan tas Edo)
Enda : “Kau tahu? Hampir saja petir menyambarku beberapa menit yang lalu,,hehe”
Edo : “Apa separah itu?” (berpaling kearah Lia)
Lia : (mengacak pinggang) “Apa aku harus mengeluarkan jurusku untuk membuat kalian diam?!!”
Okti : (merangkul bahu Lia) “Kau terlihat cantik saat marah..”
Edo dan Enda hanya tertawa kecil melihat tingkah Lia yang sedang panas. Edo siap-siap didandani. Okti segera keluar untuk mengambil posisi terdepan. Dia bertugas untuk mendokumentasikan setiap langkah kedua temannya itu. Acara malam itu berjalan dengan lancar. Begitu pintu dibuka suasana di depan café yang tadinya biasa saja berubah menjadi suara gaduh sebentar. Tidak lama Edo keluar, tampak seseorang bersandar di ujung pintu.
Edo : (menghampiri Lia) “Bukankah kau akan memperkenalkan temanmu?”
Lia : (menutup teleponnya) “Dia baru saja menelepon, seperti biasa..ayahnya tidak akan mengijinkannya keluar..sudahlah..” (melangkah pulang)
Okti yang baru saja keluar mendapati Edo sedang bingung menatap jalan
Okti : (mendekati Edo) “Ada apa?”
Edo : (berpaling ke arah Okti) “Aku hanya bertanya apakah aku dipecat atau tidak..he..”
Okti : “He he..sudahlah, waktunya makan, ayo..” (berjalan pergi)
Edo : “Apa kau traktir aku?” (sambil berlari kecil menyusul Okti)
Desember 2010
16.45
Babak III
Adegan I
Café itu hanyalah sebuah café berukuran kecil, namun tempat itu sangat tepat untuk tempat mengobrol, dan disinilah Lia dan Essi menghabiskan waktu mereka. Akhir minggu adalah waktu yang sangat berarti untuk Essi, karena hanya pada akhir minggu ayahnya mengijinkannya untuk keluar bersama teman-temannya. Lia dan Essi memang bersahabat dari SMA. Sore itu Essi dan Lia bertemu, seperti biasa mereka membicarakan mengenai kabar dan pastinya Edo, pria yang akhir-akhir ini sering Lia bicarakan padanya.
Essi : “Aku tidak tahu bagaimana lagi menghadapi ayahku..” (sambil memainkan gelasnya)
Lia : “Maaf, aku juga tidak bisa membantu, ayahmu memiliki alasan tersendiri untuk melakukannya.”
Essi : “Apa kesalahanku menjadikan aku bukan lagi putrinya?”
Lia : “Meski dia bersikap tidak adil padamu, dia bukanlah ayah yang jahat..kau tahu itu..” (meneguk minumannya)
Essi : “Membosankan bicara mengenai dia..oh..bukan kah kau tadi ingin bicara tentang Edo?”
Lia : “Benar, bicara mengenai pria memang menghilangkan ketidaknyamanan hehehe…”
Essi : “Ayolah..apa kau ingin aku mengingatnya lagi??”
Lia : “Ah..Edo ingin sekali bertemu dengan anak ayah sepertimu..dia selalu menggangguku dengan pertanyaannya..hah..”
Essi : (meneguk airnya) “Apa kau membicarakan semuanya padanya??”
Lia : “Hm..hanya mengatakan kalau kau memiliki ayah yang sangat sangat baik..hehe”
Essi : “Baiklah..sepertinya aku harus kembali sekarang..” (mengambil tasnya dan berdiri)
Lia : (menatap Essi bingung) “Bukannya ini akhir minggu, apa kau tidak ingin keluar?”
Essi : “Aku tidak mengatakan aku akan pulang, aku hanya tidak ingin menghabiskan waktuku dengan melihat pepohonan dan jalanan saja..ayo..”
Lia : “Oh..ayo..”
Mereka berjalan baru beberapa langkah ketika telepon Lia berbunyi,
Lia : “Halo..apa kabar.. Apa harus hari ini? Baik..baik..aku akan segera datang..” (menutup teleponnya)
Essi : “Sepertinya aku akan keluar sendirian saja..”
Lia : “Apa kau tidak apa-apa aku tinggal sendirian?”
Essi : “Memangnya aku anak kecil..sudahlah pergi sana..”
Lia : “Ha..baik, aku pergi, sampai jumpa lagi..”
Lia meninggalkan Essi sendirian. Essi melanjutkan langkahnya, mungkin memang malam ini akan berakhir dengan tidak mengenakkan. Tidak lama berjalan tiba-tiba dia tertarik dengan toko didepannya, sepertinya itu toko aksesoris baru. Dia melangkahkan kakinya menuju toko itu.
Penjual: (segera berdiri) “Mau beli apa gadis cantik? Toko kami memberi akseosris terbaik dan memiliki keberuntungan sendiri..”
Essi : “Keberuntungan?”
Penjual: (mengambil sebuah cincin) “Benar, menurut legenda, cincin ini akan melindungi dan memberi keberuntungan bagi siapa yang berjodoh untuk memilikinya..”
Sementara itu Edo dan Vina memasuki toko, Vina asyik memilih gantungan tas ketika Edo melangkah kearah Essi dan ikut melihat cincin.
Essi : (meraih cincin tadi) “Cantik..apa dia akan memilih aku untuk memilikinya?”
Edo : (tiba-tiba ikut bicara) “Itu hanya sebuah legenda, cincin adalah benda mati, tidak akan mungkin bisa memilih seperti makhluk hidup.”
Essi : (sedikit terkejut dengan kedatangan seorang pria disampingnya) “Aku hanya ingin tahu..bukankah terkadang mitos atau legenda memiliki kebenaran juga?”
Edo : “Yang aku tahu kebenarannya adalah, cincin itu indah dipakai oleh jarimu..hm..”
Vina : (memasang sebuah cincin dijarinya) “Apa cincin ini kau lihat bagus juga dijariku?” (tiba-tiba menyodorkan jarinya pada Edo)
Edo : “Vina, bukankah kau ingin membeli gantungan tas, kenapa tiba-tiba memilih cincin juga?”
Vina : “Tiba-tiba aku merasa tertarik dengan cincin ini, bukankah kau memuji dia karena cincinnya?” (melirik sinis kearah Essi)
Edo : (menggeleng kepalanya) “Kau ini kenapa? Baik, kalau sudah selesai aku antar kau pulang..” (melangkah keluar)
Vina : (meletakkan cincinnya dan mendekat kearah Essi) “Jangan merasa dia tertarik pada gadis sepertimu..”
Essi : “Maaf, aku hanya membeli sebuah cincin..” (berlalu menuju kasir)
Essi merasa perkataan gadis tadi membuatnya benar-benar jenuh dan memutuskan untuk pulang lebih awal. Meski ada gadis yang memandangnya sinis saat pria itu memujinya, Essi tidak dapat menghapus kenangan itu. Baginya pria itu terlihat sangat hangat. Entah kenapa jantungnya berdetak kencang tadi, saat pria itu berkata dia terlihat cantik dengan cincin itu. Mungkin benar toko itu memberi aksesoris keberuntungan bagi pengunjungnya.
Desember 2010
22.14
Babak IV
Adegan I
Essi sedang membaca saat Evi, kakaknya masuk. Sambil mengunyah potongan roti Evi duduk mendekat kearah Essi. Dan menghabiskan rotinya. Mereka hanya berbeda tiga tahun lebih, dulu hubungan mereka sangat dekat. Namun kini, Evi terlihat sangat sibuk, sampai-sampai Essi tak mengerti dengan kesibukan Evi apa.
Evi : “Apa kau tidak keluar?”
Essi : “Aku hanya sedang malas, kau sendiri?”
Evi : “Bosan..apa kau membenci Ayah?”
Essi : “Apa kita harus membicarakan hal itu lagi?”
Evi : “Aku hanya takut kau membenciku juga, makanya meski menimbulkan pertengkaran aku juga tetap ingin menanyakan hal itu..”
Essi : (meletakkan bukunya) “Kak..kau tahu aku tidak mungkin membenci Ayah, aku hanya merasa lelah dia perlakukan seperti itu..”
Evi : “Maaf, aku tidak mampu membantumu, sepertinya aku bukan kakak yang baik, hm..apa kau merasakannya?” (menunduk)
Essi : “Aku sangat merasa, tapi bukankah semua kakak di dunia ini memang menjengkelkan?”
Evi : (memandang wajah Essi) “Benarkah? Benarkah aku menjengkelkan?”
Essi : “Kak, kau kenapa bertanya terus..apa tidak lelah? Sudahlah lebih baik kau keluar dari kamarku..”
Evi : “Ha..baik, agar aku dianggap kakak yang baik, aku akan segera pergi..tapi,”
Essi menatap kakaknya
Evi : “Baik..baik..aku akan pergi..” (keluar dan menutup pintu)
Desember 2010
19.54
Adegan II
Dina dan vina sedang asik ngobrol ketika Bu Ani datang. Setelah berganti pakaian Bu Ani menghampiri mereka berdua. Vina tak mengindahkan kehadiran Bu Ani, meskipun jemari Bu Ani membelai rambutnya lembut.
Bu Ani : “Apa kau masih marah padaku?”
Vina : (mengacuhkan pertanyaan Bu Ani) “Dina, apa kau tidak merasa lapar? Ayo kita makan..” (berdiri)
Dina : “Vina, Ibumu sedang bicara padamu..” (menahan lengan Vina)
Vina : “Apa dia akan peduli dengan jawaban dariku?”
Bu Ani : “Vina, kau ini kenapa? Apa aku seburuk itu sampai kau membenciku begini?”
Vina : (menatap ibunya) “Bu..kenapa kau selalu menempatkan aku pada posisi bersalah? Kenapa harus membuat aku merasa berdosa padamu?”
Bu Ani : “Vina..kenapa kau bicara seperti itu? Apa aku benar-benar bersalah padamu?’
Vina : “Apa Ibu merasa bersalah?”
Bu Ani : (menggeleng pelan dan berpaling ke arah Dina) “Dina, Bibi minta kau memberi pengertian padanya..Vina aku hanya ingin kau mengerti pekerjaanku sangat penting..” (melangkah masuk)
Vina : (terduduk kembali) “Apa kau akan menyalahkanku juga?”
Dina : “Memangnya aku teman ibumu? Sudahlah..kenapa kau harus marah besar seperti ini, bukannya ini sudah pernah terjadi sebelumnya, seharusnya lebih mudah untukmu melewatinya..”
Vina : “Kau tahu, kalau kerang di laut habis, maka batu karang akan menjadi kerdil..hal itu pun berlaku sama untukku..kesabaranku telah habis..”
Dina : “Ah..lupakan saja..eh, bukannya kemarin kau pergi dengan Edo, kenapa kau tidak menceritakannya?”
Vina : (memasang wajah lebih kesal) “Dia membuatku jengkel, sepertinya dia tidak berubah..”
Dina : “Apa dia menggoda gadis lain didepanmu lagi?” (sambil minum)
Vina : “Kali ini aku merasa dia benar-benar tertarik dengan gadis itu..”
Dina : “Dulu kau juga berkata begitu..”
Vina : “Kali ini yang berbicara adalah matanya, apa kau masih bisa bilang dia hanya sekedar menggoda?”
Dina hanya mampu mengedipkan mata, dina tidak ingin melanjutkan pembicaraan tentang Edo lagi. Edo satu-satunya pria yang disukai Vina, dari dulu sampai sekarang, tapi bagi Edo Vina hanya seorang teman tidak bisa lebih dan kurang. Tapi Vina tak pernah menyerah. Sebagai teman Dina hanya memberi nasehat dan menjaga Vina saja.
Desember 2010
18.34
Babak V
Adegan I
Akhir minggu ini Lia mengajak Essi keluar, malam ini Lia akan memperkenalkan Edo pada Essi. Mereka menunggu cukup lama sebelum seseorang datang dan menghampiri mereka. Essi tidak bisa berkata apa-apa ketika melihat siapa yang diajak Lia untuk bertemu dengannya. Meski kejadian itu seminggu yang lalu tapi dia masih ingat dengan jelas wajah pria itu. Dan sekarang pria itu berada lagi didepannya dan memperkenalkan dirinya dengan nama Edo. Sedikit bingung Essi ikut duduk kembali, Edo hanya sedikit terlihat terkejut tapi dia lebih santai dibanding Essi.
Edo : “Hm..apa kau mengenalku?”
Essi : “Ah..ha..mungkin..”
Lia : (menatap bingung wajah Edo dan Essi secara bergantian) “Memangnya kalian pernah bertemu?”
Edo : “Kalau melihat cincin aku pasti akan ingat padanya..”
Lia : “Cincin??”
Essi : (terlihat malu)“Apa kau masih ingin menertawakan aku gara-gara cincin itu?”
Edo : “Memangnya aku pernah menertawakan kau memakainya? Meskipun aku tak percaya dengan legendanya, tapi aku percaya mataku benar kalau kau terlihat manis dengan benda itu..” (memainkan gelasnya)
Lia : “Edo, sepertinya kau terlalu menggunakan bahasa yang gombal, apa tidak berlebihan..”
Okti : (tiba-tia datang) “Bukannya Edo memang orang yang seperti itu? Kau seperti baru mengenalnya saja..”
Edo : (mendengus) “Kau selalu telat, dan juga terlalu suka sok tahu..”
Okti : “Paling tidak aku tidak sepertimu, yang pelit untuk mengenalkan calonnya padaku..”
Lia : “Oh..Essi, ini Okti, dia sahabat baik Edo, juga sebagai asistennya..”
Essi : “Oh..apa kabar..”
Okti : “Hai..apa kabar..aku harap kau tak berburuk sangka dengan kedekatanku dan Edo,” (mengambil posisi di sebelah Edo)
Essi : “Apakah aku terlihat seperti itu..” (mengambil gelasnya)
Lia : “Baik, ayo sekarang makan..”
Edo : “Ha..benar, aku sudah tidak tahan lagi untuk makan..ayo..”
Itu adalah pertemuan kedua kalinya antara Edo dan Essi, dan merupakan langkah awal dalam hubungan mereka. Meskipun Essi hanya bisa keluar pada akhir minggu tapi mereka terlihat semakin dekat, dapat dikatakan mereka sedang menjalin sebuah benang merah dalam hati mereka. Di sisi lain Vina menahan kesalnya. Dugaan dan ketakutannya akhirnya terjadi juga. Edo memang tertarik pada Essi, gadis yang dilihatnya di toko aksesoris waktu itu. Dia merasa sekarang Edo bahkan mulai mengacuhkannya dan lebih memilih untuk jalan-jalan dengan Essi.
Adegan II
Vina : “Aku tidak bisa mengerti dengan jalan pikiran Edo, Essi itu gadis berjilbab, culun yang hanya boleh keluar pada akhir minggu saja, kenapa? Kenapa harus dia?!”
Dina : “Dari dulu sampai sekarang Edo memang hanya menganggapmu sebagai teman, kau kenapa tidak bisa menerima saja?”
Vina : (memandang Dina yang sedang duduk) “Dina, kau tahu aku mengharapkan Edo berapa lama? Hampir delapan tahun..”
Dina : “Bukannya kau cantik, dan kau lebih gaul dibandingkan Essi, kenapa harus terus menjatuhkan pilihanmu pada Edo. Sebenarnya apa yang kau cari dari Edo?”
Vina : “Apa kau tidak mengerti cinta? Apa kau tidak mengerti artinya cinta?” (melangkah pergi)
Januari 2011
14.20
Babak VI
Adegan I
Meskipun pendekatan hanya berjalan beberapa minggu, tapi Essi dan Edo sepakat terikat hubungan. Essi baru saja selesai kuliah. Hari ini dia akan keluar bersama Edo, pastinya tanpa sepengetahuan ayahnya. Backstreet, itu yang sekarang dijalani Essi dan Edo. Baru saja akan melangkahkan kakinya tiba-tiba Vina memanggilnya.
Vina : “Aku dengar kau sedang mendekati Edo, apa maumu?” (berjalan mendekati Essi)
Essi : (berbalik) “Maaf, apa kita saling kenal?”
Vina : “Hm..apa kau masih berlagak tidak mengenalku? Dasar gadis sialan, kau..jangan pernah muncul di hadapan Edo lagi..”
Essi : “Apa kau pacarnya atau Ibunya melarangku?”
Dina : “Kau mau mati ya..?!” (melangkah maju dan mengacungkan tangannya)
Okti : (tiba-tiba muncul) “Siapa yang ingin mati?”
Dina : “Kau..”
Okti : (berdiri di antara Essi dan Dina) “Siapa yang berani menyentuh temanku, dia harus berhadapan denganku dulu..”
Vina : “Gadis aneh, kenapa kau selalu ikut campur dalam permasalahanku, apa Edo menyuruhmu lagi untuk melindungi gadis sialan ini?!”
Okti : “Hei..ternyata kau masih ingat, apa mau di ulang?”
Essi : “Sudahlah, ayo kita pergi..” (menarik lengan Okti)
Okti : “Isk.!!”
Dina : “Vina, ayo..” (mengajak Vina pergi)
Dina dan Vina pun berlalu dari hadapan Okti dan Essi. Masih dengan geram Okti memonyong-monyongkan wajahnya. Hal itu membuat Essi tidak bisa menahan tawanya. Melihat Essi yang asik menertawakan dirinya Okti hanya bisa diam. Lama dia menatap wajah manis itu. Essi yang sadar pada tingkah Okti menghentikan tawanya.
Essi : “Kenapa menatapku begitu?”
Okti : “Apa kau sedang bahagia?”
Essi : (mengernyitkan dahinya) “Aku cukup bahagia memiliki pengawal sepertimu..”
Okti : “Pengawal..?”
Essi : “Ha..baiklah, aku suka dengan Okti..sudah cukup? hehehe..”
Okti : “Hm..aku juga suka Essi..”
Essi : “Ha..ayo pergi..” (menggandeng lengan Okti)
Edo memang meminta Okti untuk menemani Essi, karena dia tahu hal seperti tadi mungkin saja terjadi. Sedangkan dia, Lia dan Enda sibuk bekerja. Maklumlah, pekerjaan sebagai model bukanlah hal yang santai. Meski begitu akhir minggu tetap menjadi hari milik mereka berdua.
Januari 2011
19.20
Babak VII
Adegan I
Meski baru beberapa minggu mereka bersama, Essi mulai merasa dirinya tidak bisa lagi seperti dulu. Dia mulai mengikuti gaya hidup Edo dan teman-temannya. Maklumlah, Edo dan teman-temannya tidak memiliki orang tua yang terlalu peduli dengan apa yang mereka lakukan. Dapat dikatakan mereka adalah sekumpulan anak muda yang menikmati gaya hidup bebas, namun tertekan dalam batinnya. Essi pun mulai ingin menunjukkan pada Pak Edi bahwa dia bukan boneka lagi. Meski sempat tidak yakin, tapi akhirnya Essi melakukannya juga. Dia berdandan dengan manis, kemudian melangkah keluar kamar. Dia tahu Pak Edi dan Evi sedang duduk di ruang tamu.
Pak Edi : (menurunkan korannya) “Kau mau kemana?”
Essi : (berhenti) “Aku mau keluar bersama teman..”
Pak Edi : “Apa kau sudah lupa dengan peraturan yang aku buat?”
Essi : “Maaf Ayah, aku sudah tidak bisa mengingat peraturan itu lagi..”
Pak Edi : “Kau bilang apa?” (berdiri)
Essi : “Aku sudah lelah Ayah, aku lelah dengan sikap Ayah yang menganggapku hanya boneka..”
Evi : “Essi, kau bicara seperti itu tidak baik, cepat minta maaf..” (meletakkan cangkir kopi)
Essi : “Apa kakak juga tidak bisa merasakan kelelahanku?”
Evi : “Essi, kau sudah sangat keterlaluan, kenapa kau seperti ini?” (mendekati Essi)
Pak Edi : “Biarkan, biarkan saja dia, kalau dia mau pergi, silahkan..”
Essi : “Ha..aku rasa malam ini kita jangan bertengkar dulu Yah..baik, aku pergi..” (melangkah keluar)
Evi : “Essi..”
Pak Edi : “Biarkan dia..”
Evi : “Ayah..” (menatap tak mengerti pada ayahnya)
21.00
Adegan II
Ipan baru saja akan menelepon Evi saat gadis itu muncul dengan wajah masam di depan rumahnya. Ipan dan Evi saling mengenal ketika Ipan sedang bertugas dan Evi membutuhkan pertolongan karena mobilnya yang tiba-tiba mogok. Ipan memang cukup mengenal Evi, karena sebetulnya mereka memiliki sebuah hubungan istimewa namun keduanya belum secara tegas untuk memastikan hubungan mereka. Karena itu ketika Evi datang dengan wajah masam Ipan segera menyambutnya.
Ipan : “Lho Evi, baru saja aku akan meneleponmu, apa terjadi sesuatu?” (sambil memberikan kursi pada evi)
Evi : (duduk) “Maaf mengganggumu malam-malam, aku benar-benar tidak tahu harus kemana untuk meminta bantuan..”
Ipan : (duduk di samping Evi) “tidak masalah buatku untuk direpotkan malam ini..ayo ceritakan apa yang terjadi?”
Evi : “Apa kau masih bertanya aku sedang stress karena ulah siapa?”
Ipan : (menggeleng kepalanya) “Aku tidak percaya adikmu mampu membuatmu repot begini..”
Evi : (mendengus) “Orang-orang juga tidak percaya aku bisa dekat dengan orang sepertimu..”
Ipan : “Hei..apa ada yang salah denganku?”
Evi : “Kau tahu, wajahmu begitu terlihat menyeramkan..” (sambil meringis seram)
Ipan : “Wajar saja, aku seorang polisi, lalu?”
Evi : “Tapi kau punya sifat yang..” (terdiam)
Ipan : “Kenapa berhenti?” (mencoba menggoda)
Evi : “Aku sedang membicarakan adikku bukan kau, hah..sepertinya aku salah tempat..(berpura beranjak)
Ipan : “Hah..baik..baik..aku akan mendengarkanmu saja, ayo katakan..” (menahan tangan Evi)
Evi : (duduk kembali) “baiklah kalau kau begitu memaksa.., aku hanya ingin mengatakan adikku mulai berubah..”
Ipan : “Kau harus lebih bersabar..”
Evi : “Mungkin..”
Ipan menepuk pundak Evi, menenangkannya. Kemudian mereka terus melanjutkan obrolan sebentar sebelum Ipan mengantarnya pulang. Sedangkan Essi sedang asik di tempat lain.
21.34
Adegan III
Meski hujan tak berhenti, tapi Essi dan Edo tetap nekat untuk keluar. Enda dan Lia yang menemani mereka segera meneduhkan diri ke suatu café dan berpisah dengan Edo dan Essi. Enda memang bersyukur, karena dengan begitu dia bisa mendekati Lia.
Enda : “Apa kau kedinginan?”
Lia : “Memangnya kau membawa selimut?”
Enda : “Ya..aku punya selimut..”
Lia menoleh padanya dengan tatapan heran
Enda : “Ini..” (sambil menunjuk dadanya)
Lia : (tertawa) “Sayang sekali aku tidak suka dengan badan kurus sepertimu..hehe”
Enda : “Baik..aku akan makan dengan banyak, supaya gadis yang menyukai pria gemuk segera mendapatkan jodohnya, hehehe..”
Lia : “Lihat nanti saja..”
Enda : “Aku pasti berusaha..”
Lia hanya tertawa dengan tingkah Enda. Sedangkan di tempat lain Edo mengajak Essi ke rumahnya. Essi masih teringat dengan pertengkaran tadi, sungguh dia merasa tidak tenang. Edo yang melihatnya bersikap aneh menghampirinya.
Edo : “Apa ada masalah?” (duduk disamping Essi)
Essi : “Aku bertengkar dengan Ayahku hari ini..hm..”
Edo : “Bukankah itu biasa terjadi antara anak dan Ayah..”
Essi : “Aku tidak pernah berkata kasar padanya, aku hanya merasa bersalah..” (tertunduk)
Edo : “Ha..baik, apa kau ingin menenangkan diri?”
Essi : “Apa kau punya ide?”
Edo : (berpikir sejenak) “Apa kau bisa minum?”
Essi : “Aku selalu penasaran untuk melakukan hal yang baru..”
Edo : “Ha..baik, ayo pergi..” (menggandeng lengan Essi pergi)
Essi dan Edo pun pergi membeli minuman. Entah kenapa Essi merasa bersalah untuk melakukannya, tapi setelah tegukan kedua, dirinya mulai merasa ringan. Tiba-tiba semuanya menjadi hilang, dia merasa berada di awan, terbang bersama Edo. Tanpa mereka sadari mereka mulai melakukan kesalahan. Dan kesalahan itu sangat fatal. Di sisi lain Evi merasa khawatir Essi belum kembali padahal sudah pukul 23.45. Akhirnya dia menekan bebrapa digit nomor dan berbicara dengan seseorang.
Evi : “Halo,”
Di sisi lain..
Okti : (mengangkat teleponnya) “Halo..”
Evi : “apa benar ini Okti?”
Okti : “Benar,”
Evi : “Apa kabar..aku Evi, kakaknya Essi, ah..apa kau tahu dimana Essi?”
Okti : “apa ada masalah?”
Evi : “aku hanya merasa khawatir, dia tidak pernah keluar malam selarut ini,”
Okti : “aku akan mencarinya..”
Evi : “ha..baik, terima kasih atas bantuannya, aku mengandalkanmu..”
Okti menutup teleponnya, sejenak dia terdiam. Rasa khawatir langsung menyergap dirinya. Dia berdiri dan meninggalkan teman-temannya tanpa menghiraukan panggilan mereka. Selama ini dia sudah menyukai Essi, bagaimana menjelaskan perasaannya pun dia tidak bisa. Saat Evi mengatakan Essi belum pulang dia merasa takut, takut yang tidak bisa dikatakan. Gejolak didadanya semakin besar, dia tidak peduli lagi dengan keadaan normal atau tidak normal ini. Dia segera menelepon Lia dan Enda.
Okti : “Lia, kau tahu Essi ada dimana? Ah..tidak aku hanya ada sedikit kepentingan mau bertanya padanya, oh..baik..”
Okti segera menuju rumah Edo, sampai di sana Okti berhenti sejenak, di luar ada sepatu Essi. Pintu itu tidak terkunci, keadaan yang hening menambah kecepatan detk jantungnya. Dia yang sudah mengenal dunia pergaulan cukup luas selama ini merasakan adanya hal yang tidak wajar. Dengan tangan bergetar dia membuka pintu. Di pojok ruangan dia menemukan syal yang biasa dipakai Essi. Tangannya menggenggam erat syal itu, sampai Edo keluar dari kamar dengan wajah kusut dan terlihat terkejut dengan kedatangan Okti.
Edo : “Ah..kau..” (wajah terkejut)
Okti : (menatap tajam wajah Edo) “Dimana Essi? Apa yang kau lakukan pada Essi?!!” (dengan nada tinggi)
Edo : (terkejut dengan teriakan Okti, mengusap wajahnya) “Essi, dia..”
Okti : “Essi, keluar!” (berjalan meuju kamar)
Essi : (tampak terkejut, dia baru saja merapikan jilbabnya) “Okti..”
Okti : “Ayo pulang..”
Essi : “Aku..”
Okti : “Pulang..” (menarik lengan Essi)
Edo : “Okti, kau tidak bisa membawanya pergi..Okti..!” (mencoba menahan Okti)
Okti tidak menghiraukan panggilan Edo, dia terus menyeret Essi keluar. Rasa marahnya membuatnya lupa Essi tidak sempat memakai sepatunya dan terseret sambil menangis. Tangisan Essi yang semakin kuat menyadarkan Okti.
Okti : (melepaskan tangannya) “Apa kau sudah gila?”
Essi : “Apa?” (mengurut lengannya yang sakit)
Okti : “Aku tanya apa kau sudah gila?!!”
Essi : “Aku..”
Okti : (berpaling kearah Essi) “Kenapa kau melakukan ini? Apa kau sudah tidak punya pikiran? Hah?!!”
Essi : “Ada apa denganmu, kenapa kau membentakku terus? Aku juga tidak sengaja melakukannya..”
Okti : “Kenapa kau tidak punya harga diri? Kenapa kau menyamakan dirimu dengan gadis di luar sana..kenapa, kenapa Essi!”
Essi : “Kenapa kau mengatakan aku begitu?! Kau membuatku sedih..”
Okti : “Kau memang menyedihkan..” (berpaling)
Essi : (menarik lengan Okti) “Maaf, maaf Okti aku salah..aku khilaf..”
Okti : “Kau tahu betapa takutnya aku saat kakakmu mengatakan kau belum pulang selarut ini, ternyata kau sedang menghancurkan dirimu sendiri..”
Essi : “Aku hanya lari dari pertengkaranku dengan Ayah, aku hanya ingin tenang, aku..”
Okti : “Apa ini yang kau bilang menenangkanmu? Apa masalahmu selesai dengan kelakuanmu malam ini?”
Essi : “Kenapa kau begitu marah padaku? Aku minta maaf karena kesalahanku, dan terima kasih karena mencemaskanku..” (menunduk)
Okti : “Aku sayang padamu Essi, apa kau tidak bisa merasakannya?”
Essi : “Aku tahu, aku tahu kau adalah teman yang menyayangiku, aku..”
Okti : “Aku menyukaimu,” (tertunduk)
Essi : “Aku ju..ah apa?” (terlihat kaget)
Okti : “Kau tahu betapa susahnya aku memahami perasaanku sendiri? Betapa lelahnya aku meredam semuanya? Aku selalu berpikir bagaimana agar kau bahagia, agar kau tidak terluka..aku terus berpikir aku ini tidak mungkin..”
Essi : “Okti, apa kau sedang bercanda?”
Okti : (menatap Essi) “Kau tahu aku sedang serius, lalu kenapa?”
Essi : “Okti, kita..maksudku, itu tidak mungkin..kau dan aku..kita..”
Okti : “Apa yang salah dengan perasaan ini? Aku juga tidak menginginkannya, tapi kau membuatku memiliki rasa ini, apa kau mau lari dari tanggung jawabmu?”
Essi : “Aku merasa aneh Okti..kau keterlaluan, kau mana boleh berbuat begini kepadaku dan Edo?!”
Okti : “Aku hanya..”
Essi : “Jangan pernah temui aku lagi, kau sudah gila..” (berlari)
Okti tidak lagi menahan Essi, kini dirinya merasa malu. Kenapa harus dia yang mengalami semua ini, bukankah dia tida pernah berpikir untuk mampu melakukan semuanya? Hujan, saat hujan Okti merasakan semuanya. Ternyata sampai langit dan bumi pun ikut bersedih dengan hatinya. Dia merasa bodoh melakukan semuanya, tapi itulah kodratnya cinta, yang membuat semua orang menjadi bodoh. Rasa, Okti merasakan sebuah rasa tidak bisa untuk dibohongi lebih lama. Berjalan dalam luka tak akan mengingat segalanya lagi. Okti memutuskan untuk tidak lagi bersama Essi, dia hanya akan menjaga Essi dari belakang.
Februari 2011
14.20
Babak VIII
Adegan I
Dina dan Vina sedang duduk santai di warung ujung ketika Essi terlihat keluar dari kampusnya. Namun Vina dan Dina tidak menemukan sosok Okti yang biasanya selalu ada di samping Essi. Meskipun ada yang aneh, tapi Vina dan Dina merasa itu kesempatan emas untuk member Essi pelajaran.
Dina : “Essi sedang sendirian, lebih baik habisi dia sekarang..”
Vina : “Benar, kenapa aku harus berdiam diri di sini..”
Melangkah menuju Essi yang sedang menunggu jemputan, namun tiba-tiba Okti muncul sebelum mereka berhasil mendekati Essi.
Dina : (sedikit terkejut) “Anak ini lagi, apa maumu?”
Okti : “Jangan mengganggunya lagi..”
Vina : “Kau begitu menjaga sepupu dan kekasihnya itu, apa kau tidak punya masalah sendiri?” (tampak kesal)
Okti : “Masalahku adalah kalian,”
Dina : “Kenapa harus takut melawannya? Bukankah dia sendiri..”
Vina : “Aku hanya tidak mau menyentuh tubuh menjijikkan seperti dia..”
Okti : (menatap Vina) “Kau bilang apa?”
Vina : “Ada apa? Kau merasa perkataanku benar?”
Perkataan Vina membuat Okti mengingat kejadian kemarin. Essi juga mengatakan dia sudah gila, bahkan tidak mau lagi melihatnya. Okti sebenarnya merasa sangat bersalah pada Essi, emosinya yang tinggi telah membuatnya lupa diri. Sekarang Vina pun menyebutnya orang yang menjijikkan, Okti berpikir apakah dia benar seorang brengsek? Vina mendekati Okti, dan PLAKK
Vina : “Apa kau merasa sakit?”
Dina : “Wah..kau menyentuhnya..” (menatap takjub)
Vina : “Aku hanya mengambil kesempatan, meskipun aku harus membersihkan tanganku berulang kali..” (wajah sedikit heran)
Okti : (tidak memperdulikan tamparan Vina) “Apa aku begitu menjijikkan?”
Vina : “Dia benar-benar sudah mau mati..kita berikan saja dia pelajaran..”
Vina dan Dina secara serentak mendekati Okti dan menamparnya. Bukan karena tamparan itu yang membuat Okti terjatuh, tapi luka hatinya yang sangat parah. Tapi sebelum badannya benar-benar roboh seseorang terlebih dulu menahannya.
Enda : “Kau tidak apa-apa?”
Vina : “Kenapa kalian repot sekali dengan Edo dan Essi?”
Enda : (berpaling kearah Vina) “Kau kali ini sudah sangat keterlaluan, apa kau harus aku berikan pelajaran juga? Hah..!”
Dina : “Kenapa kau marah begitu? Dia sendiri yang tidak melawan ketika dipukul,”
Vina : “Temanmu ini mau mati, kau tidak bisa melihatnya? Kenapa harus masih memperdulikan kami?” (kemudian berlalu)
Enda : (berpaling kearah Okti) “Ada apa denganmu? Apa kau ada masalah?”
Okti : (mengangkat wajahnya) “Sudahlah..”
Enda : “Okti, beritahu aku, ada apa denganmu?” (menahan lengan Okti)
Okti : (melepaskan genggaman Enda) “Terima kasih mencemaskanku, sudahlah..anggap saja aku sial hari ini..ayo..”
Enda : “Kau terlihat sangat parah, baik..meski sangat penasaran aku tidak akan bertanya lagi..” (menyusul Okti)
April 2011
19.30
Babak IX
Adegan I
Belakangan ini Essi merasa dirinya aneh. Dia lebih suka makan makanan yang asam dan lebih memilih makanan. Dia juga belum mendapat haid bulan ini, padahal seharusnya sudah seminggu yang lalu. Apalagi akhir-akhir ini setiap kali selesai makan dia akan merasa mual dan muntah-muntah. Tiba-tiba dia merasa khawatir. Apakah kejadian waktu itu menyebabkan sesuatu? Essi segera mengambil tindakan sebelum semua orang curiga padanya. Setelah menerima hasil testnya, Essi seakan-akan ingin di telan bumi saja. Positif.
Evi : “Akhir-akhir ini kakak lihat kau berubah..”
Essi : “Berubah?”
Evi : “Kau sedikit aneh, kenapa kau sering mengunyah mangga sekarang?”
Essi : “Bukannya sedang musim Kak?”
Evi : “Lalu kenapa kau sering mual-mual?”
Essi : “Oh..ah itu mungkin karena aku terlalu sibuk akhir-akhir ini.”
Evi : “Ya sudahlah, aku hanya khawatir saja..”
20.05
Adegan II
Evi sedang melamun saat Ipan menghampirinya.
Ipan : “kenapa lagi..?”
Evi : “aku merasa ada yang salah dengan Essi,”
Ipan : “ha..apa?” (memainkan telepon genggamnya)
Evi : “aku melihatnya seperti orang yang sedang..ya..dia bersikap seakan-akan dia..hamil..”
Ipan : “apa?!!” (berhenti memainkan telepon genggamnya dan ikut duduk)
Evi : “ya..aku hanya menduga saja..”
Ipan : “ya ampun, aku kira itu benar terjadi. Sudahlah..”
Evi : “tapi..”
Ipan : (berdiri) “sudahlah, jangan berpikir yang aneh-aneh, apa kau mau aku antar pulang?”
Evi tidak menjawab, tapi dia mengikuti Ipan yang sudah melangkah lebih dulu. Segera disusulnya tubuh Ipan dan berjalan bersama sampai ke rumah.
21.45
Adegan II
Vina menutup pintu kamarnya dengan keras. Hari ini dia genap berumur 20 tahun, tapi kenapa Bu Ani sedikit pun tidak ingat? Awalnya Vina berpikir Bu Ani memberikan kejutan dengan pura-pura tidak ingat akan ulang tahunnya, tapi setelah menerima pesan Bu Ani, dia tahu itu semua salah. Dengan menahan kesal dia menanti Bu Ani datang.
Bu Ani : “Sayang, apa kau belum tidur?”
Vina : “Apa ibu tidak ingat sesuatu?”
Bu Ani : (membuka jasnya) “Apakah ada berkas-berkas yang tertinggal? Dimana?”
Vina : “Sudahlah, percuma saja..”
Bu Ana : “Kenapa kau bilang percuma? Apa kau membuangnya?”
Vina : “Apa aku ini benar-benar putrimu?” (berdiri berhadapan dengan ibunya)
Bu Ani : “Apa..”
Vina : “Apa kau benar-benar Ibuku?”
Bu Ani : “Apa?? Kau sedang bicara apa Vina..aku tidak mengerti..”
Vina : “Ibu benar-benar sudah keterlaluan, apakah klien-klien di sana lebih penting sampai-sampai kau tidak sempat mengucapkan selamat ulang tahun padaku?!!”
Bu Ani : (menutup mulutnya) “Ya ampun sayang, maafkan Ibumu ini, Ibu benar-benar lupa, kau ingin kado apa? Biar aku berikan..”
Vina : “Apa aku terlihat begitu tertarik dengan tawaranmu? Aku hanya ingin kau mengingatku Bu..hanya itu..”
Bu Ani : “Vina, Ibu benar-benar minta maaf, baiklah..kau ingin aku melakukan apa agar kau memaafkan Ibumu ini?” (mencoba mendekati Vina)
Vina : (menggeleng pelan) “Aku hanya ingin kau melihat keberadaanku saja Bu..hanya itu..” (beranjak pergi)
Bu Ani : “Vina, Vina kau mau kemana?”
Vina tidak menghiraukan panggilan ibunya, dia terus berjalan keluar. Hanya satu tempat yang ditujunya, yaitu Dina. Dia pasti akan menginap lagi di rumah Dina.
Dina : “Maaf aku tidak bisa membantumu,”
Vina : “Aku tidak menyalahkanmu, kau terlalu banyak membantuku, terima kasih..” (memeluk boneka dengan erat)
Dina : “Kau berkata begitu membuatku menjadi semakin tidak enak..apa kau sudah selesai menangis?”
Vina : “Kenapa Ayah harus pergi..kenapa Ibuku harus bertanggung jawab dengan perusahaan itu? Kenapa tidak mau menerima hidup seadanya saja?”
Dina : “Jawabannya ada padamu, apa kau akan tahan hidup tanpa memiliki semua yang kau miliki sekarang?”
Vina : (terdiam sejenak) “Benar, aku ini terlalu sombong, benar-benar tidak akan sanggup menjalani hidup yang miskin..hah..”
Dina : “Sudahlah..apa kau ingin pergi minum?”
Vina : “Kau ingin seluruh kota tahu aku baru saja menangis?!”
Dina : “Baiklah..baiklah..kita keluar mencari angin saja, hanya jalan-jalan.. bagaimana?”
Vina : “Baiklah..”
April 2011
20.12
Babak X
Adegan I
Essi sudah tidak sanggup lagi menyembunyikan keanehan pada dirinya. Hari ini dia harus bertemu Edo dan mereka harus bicara. Edo juga harus bertanggung jawab akan perbuatannya. Essi semakin takut, takut kalau ternyata Edo tidak mau bertanggung jawab pada dirinya. Ketakutan itulah yang membuat Essi nekat untuk menemui Edo, malam ini juga. Saat Essi keluar kamar, tiba-tiba Pak Edi memanggilnya.
Pak Edi : (berjalan mendekati Essi) “Apa ingin bertemu model itu lagi?”
Essi : (menoleh dengan wajah sedikit terkejut) “Ayah..apa kau tahu dari kakak?”
Pak Edi : “Kenapa berbohong padaku?”
Essi : “Aku tidak bermaksud untuk berbohong, tapi sikap Ayah membuatku terpaksa melakukannya..” (memalingkan wajahnya)
Pak Edi : “Sebenarnya ada apa denganmu? Kenapa kau terlihat begitu membenciku..”
Essi : “Apa Ayah tidak menyadari bahwa Ayahlah yang membuatku membencimu seperti ini..” (berpaling pada ayahnya)
Pak Edi : “Apa yang salah?”
Essi : “Kenapa harus aku yang bertanggung jawab atas kematian Ibu? Apa aku harus dihukum seperti ini karena telah membuat Ibu pergi? Apa aku juga harus mati dulu baru kau akan memaafkan aku?!!”
Pak Edi : “Aku hanya tidak mau kau mengulangi kesalahan yang sama seperti dulu, kalau kau tidak keras kepala Ibumu tidak akan mungkin meninggalkan kita..”
Essi : “Apakah aku bukan manusia sehingga aku tidak berbuat salah? Apakah aku begitu sengaja ingin membunuh Ibu? Jawab aku Ayah!” (menangis)
Evi : (keluar dari kamar) “Essi, apa yang kau katakan?! Kau tidak mengerti apa yang Ayah rasakan dan pikirkan..”
Essi : “Apa hanya Ayah saja yang harus dipikirkan keadaannya? Apa aku robot yang tidak perlu diperhatikan?”
Evi : “Sejak kau bertemu dengan teman-teman barumu kau terlihat begitu aneh, kau sudah berubah Essi..”
Essi : “Kenapa? Kalian kesal karena sekarang aku tidak lagi mudah dibodohi?”
Pak Edi : “Cukup Essi! Kau jangan membuat Ayah benar-benar membencimu..”
Essi : “Ha..baik, aku berjanji tidak akan membaut kau kesal lagi padaku Ayah, aku akan pergi..”
Evi : “Kau bicara apa?”
Essi : “Sudahlah kak..aku tidak mau kau cereweti lagi, aku pergi..” (beranjak pergi)
Evi : “Essi..!”
Essi segera keluar meninggalkan Pak Edi dan Evi yang masih menahan rasa kesal padanya. Evi menghampiri Pak Edi. Membantunya duduk dan mengambil segelas air. Dia tahu Pak Edi sangat syok dan khawatir dengan sikap adiknya itu. Dia juga tidak mengerti apa yang harus dilakukannya.
Pak Edi : “Apa aku keterlaluan padanya?”
Evi : “Ayah, Essi hanya belum mengerti dengan maksud sikap Ayah selama ini padanya, nanti juga dia akan mengerti..”
Pak Edi : “Apa aku telah gagal menjadi seorang Ayah? Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkannya pada Ibumu nanti?” (menutup wajahnya)
Evi : “Ayah..sudahlah, aku akan bicara padanya, Ayah istirahat saja..”
Pak Edi : “Aku semakin menjadi jahat kalau aku istirahat sekarang, jangan halangi aku untuk menunggunya..”
Evi hanya bisa menarik nafas panjang. Dia tidak bisa lagi melarang ayahnya untuk menunggu Essi yang entah kapan akan pulang. Essi sendiri di jalan merasa kekosongan di dalam dirinya. Dia ingin sekali memeluk ayahnya dan meminta maaf untuk semua bentakannya tadi. Dia tahu ayahnya tidak mungkin bermaksud jahat padanya selama ini. Tapi entah mengapa langkahnya semakin menjauhi rumahnya. Dengan pelan dia membuka telepon genggamnya.
Essi : “Ayah..maaf, maaf aku telah membuatmu terluka..aku, aku hanya merindukan Ibu..aku rindu sekali padanya..Ayah, terima kasih telah menjagaku selama ini, terima kasih untuk semua kebaikanmu selama ini. Sekali lagi maaf, maafkan Ayah, aku bukan putrimu yang baik.. maaf Ayah.. aku menyayangi Ayah..” (menutup teleonnya)
20.25
Adegan II
Lia menemukan Edo sedang asik menggunting kertas kado saat tiba di rumah anak buahnya itu. Melihat Edo yang dengan bahagia membungkus kado itu Lia menjadi semakin terharu. Ternyata Essi mendapatkan orang yang tepat untuk memilikinya. Lia pun merasa Edo sangat beruntung memiliki Essi, gadis yang banyak diimpikan oleh para pria.
Lia : “Bukankah ulang tahun Essi masih ada beberapa hari lagi?”
Edo : (tetap terus menggunting) “Aku ingin memberikan hadiah sebanyak-banyaknya, agar dia terharu dan menangis kemudian memeluk tubuhku dengan erat..”
Lia : “Kau yakin reaksinya akan begitu?”
Edo : “Kenapa tidak?”
Lia : “Baiklah..aku tidak ingin mengganggumu lagi..”
Tiba-tiba Essi masuk dengan wajah tanpa senyum
Lia : “Beruntung sekali, kami baru saja membicarakanmu..”
Essi : “Apa kabar..”
Edo : (berdiri dan memandang Essi) “Kenapa kau datang begitu mendadak?”
Essi : “Aku ingin memberitahumu sesuatu, apa kita bisa bicara?”
Edo menoleh kearah Lia,
Lia : “Baiklah..aku jalan duluan..selamat malam..” (berjalan keluar)
Edo : “Ada apa? Kelihatan begitu serius?” (kembali duduk)
Essi : “Edo..aku hamil..”
Edo : (berhenti menggunting) “Kenapa begitu bicara sembarangan, kau tahu itu bisa menjadi kenyataan..”
Essi : “Edo, aku hamil..”
Edo : (berdiri dan memandang kearah Essi) “Apakah kau sedang bercanda?”
Essi : “Edo..aku hamil..”
Edo : “Tidak mungkin, siapa yang melakukannya?”
Essi : (menjadi marah) “Kau bicara seakan-akan aku pelacur,”
Edo : “Tapi kita baru sekali melakukannya, kenapa bisa terjadi?”
Essi : “Apa kau tidak mau bertanggung jawab?”
Edo : “Bukan begitu, aku hanya masih syok..”
Essi : “Apa harus seperti itu? Apa harus menganggapku gadis murahan ketika kau terkejut? Hah?!!” (terlihat marah)
Edo : “Lalu apa yang harus aku lakukan? Menikahimu?”
Essi : “Apa masih ada jalan lain?”
Edo : (berdiam sejenak) “Gugurkan saja bagaimana?”
PLAKKK!!
Essi : “Kau ingin aku menjadi seorang pembunuh?”
Edo : (berbalik membelakangi Essi) “Lalu apa lagi? Aku tidak siap untuk menikahimu..”
Essi : “Kenapa? Apa selama ini kau hanya berpura-pura mencintaiku?”
Edo : “Kita baru pacaran selama dua bulan Essi, dan kita masih sangat muda..”
Essi : (mendekati Edo) “Kenapa kau begitu..kenapa kau begitu??!!!” (mengguncang tubuh Edo)
Edo : “Bukan begitu..” (berbalik tiba-tiba)
Essi : “Agh..!!” (memegang perutnya)
Edo : (kaget melihat darah) “Hah..?! Essi..Essi..”
Essi : “Edo, agh..Edo..kau..”
Edo : “Essi, aku..maaf..aku tidak sengaja..” (mencoba menahan tubuh Essi)
Tubuh Essi perlahan tersungkur di lantai, sedangkan Edo masih terpaku tidak percaya. Tangannya yang memegang gunting bergetar hebat. Dia tidak bisa melakukan apapun termasuk duduk atau berlari meminta pertolongan. Tiba-tiba pintu terbuka
Okti : “Edo..apa yang kau lakukan?” (menghampiri Essi)
Edo : “Aku..”
Okti : “Essi, Essi bangun..Essi..Essi..!” (mengguncang tubuh Essi)
Lia yang menyusul di belakang segera menghambur ke dalam melihat ada banyak darah
Lia : “Ya Tuhan, apa yang terjadi? Edo..apa yang telah kau lakukan??!! Aku akan mencari bantuan..” (berlari keluar)
Okti : (berdiri dan menuju kearah Edo) “Apa yang kau lakukan? Apa yang telah kau lakukan Edo?!!!”
PLAKK!! BUKK!!
Okti : “Kau membunuhnya..!!”
Edo semakin panik, dia semakin tidak bisa berpikir. Dengan ketakutan didorongnya tubuh Okti ke samping dan dia segera berlari keluar. Okti mencoba mengejar tapi Lia menahannya karena sudah ada petugas yang datang. Di depan sudah ada polisi dan Pak Edi juga Evi dan Ipan, yang memang seorang polisi. Namun Edo berhasil kabur, dengan cepat ketiga pria itu pun mengejarnya. Karena sangat panik Edo tidak mampu melawan ketiga pria itu.
Juni 2011
08.34
Babak XI
Adegan I
Tuhan memang memiliki rencana pada setiap ciptaannya. Dia tahu kapan saat yang tepat untuk mengambil milik-Nya lagi, tanpa seorang manusia pun mampu menghalanginya. Kini dua bulan setelah kematian Essi, mereka yang ditinggalkan mendapat banyak pelajaran. Keluarga Edi memang masih bersedih, namun mereka mampu untuk menghadapinya dengan berserah pada Tuhan. Kini Pak Edi hanya ditemani oleh Ipan dan Evi. Vina, meskipun selama ini membenci Essi, tapi dia sekarang bisa memahami arti hidup lebih lagi. Akhirnya dia bisa mengajak ibunya bicara dan kini mereka memiliki hidup yang bahagia dengan saling memberi pengertian. Dan dia masih mencintai Edo. Okti, berusaha menjalani hari-harinya dengan baik, tidak ingin menjadi manusia yang menjijikkan kini dia ikut membantu Enda dan Lia membuka usaha baru. Dan Edo..
Vina : “Apa kabar?”
Edo : (menatap Vina) “Kenapa masih menjengukku?”
Vina : “Aku tidak mau kau menjalani semuanya sendirian, apa kau mau mengajakku menjalaninya denganmu? Aku akan menunggumu..”
Cerita tentang mereka memang berakhir, tapi hidup mereka terus berjalan. Masalah tak pernah mengalah, dia akan terus hadir. Sebagai manusia yang mengerti makna hidup pasti akan menyambutnya dengan senyuman.
USAI
apa2ani ini
BalasHapus