Kamis, 14 April 2011

Jangan pergi….

Dengan jantung berdebar aku menanti reaksi dari Eka, apakah dia tetap cuek seperti dulu atau kali ini dia akan bilang terima kasih setelah mendapat kartu valentine dariku…, sungguh aku sangat nervous. Satu jam, dua jam, tiga jam sampai bel istirahat Eka tidak memberi reaksi apa-apa. Aku hampir putus asa kalau saja Eka tidak menghampiriku di kelas.
“Hai lagi ngapain?” Tanyanya yang mengambil posisi duduk di depanku.
Aku sedikit kaget dibuatnya, “Eh…, nggak. Lagi baca aja.”
“Oh….”
“Kenapa?” Tanyaku penasaran, apa Eka bakal ngucapin ma’kasih ke gue? Tanyaku dalam hati.
“Mau permen cokelat nggak?” Eka mengeluarkan sebutir permen cokelat,
“Mau..mau….., aku paling suka yang namanya cokelat!”
“Ah, nggak jadi deh. Lagian cuma ada sebutir doang,” Katanya sambil memasukkan kembali permen tadi ke sakunya.
Aku pura-pura merajuk, “Ih…! Pelit banget sih, sekali-kali napa’ coba kasi’in orang permen..” Tukasku.
“Biarin, suka-suka gue dong!”
“Eka…,”
“Nggak!”
“Mm….”
“Ya udah, ntar loe nangis” Katanya sambil memberikan permen tadi,
“Ma’kasih Eka..” Aku menerima permen itu dan memasukkannya kesaku, aku berencana untuk memakannya pukul 24.00 nanti malam. Yach! Meskipun sebutir permen coklat, aku sudah sangat bahagia, karena aku tahu dan mengerti dia nggak akan bisa beliin kado atau cokelat yang lebih mahal, karena Eka memang berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Dia disini karena mendapat beasiswa. Aku menyayangi Eka apa adanya walaupun orang menganggap itu mustahil karena aku anak seorang pengusaha sukses. Tapi aku yakin mama dan papa nggak seperti kebanyakan orang kaya lainnya yang memandang status sebagai isyarat pertama pergaulanku. Lagi pula selama ini papa kelihatan menyukai Eka, karena Eka anak yang pintar, cerdas, dan jago main catur.
Meskipun aku begitu menyukai Eka, tak pernah sedikit pun aku mendapat respon pasti dari Eka, walau aku sering memberi kado dan kartu ucapan padanya, dia tidak pernah sekali pun membicarakannya bahkan kadang sikapnya menunjukkan kalau dia membenciku. Tapi terkadang dia juga bersikap manis seperti yang barusan dia lakukan.

“Woi!! Melamun aja. Gimana, dia bilang sesuatu nggak tentang kartu yang loe kasi’?” Suara Tuti mengagetkanku,
Aku tersenyum, “Nggak, dia nggak ngomong apa-apa” Jawabku singkat.
“Yach! Berarti tuh orang bener-bener cuek sama loe”
“Nggak juga sih, buktinya dia ngasi aku permen coklat,”
“Pantesan loe hepi aja. Ngomong-ngomong bagi dong permennya..”
“Enak aje, emang dia ngasi buat kamu?! Lagian permennya juga cuma sebiji doang.” Jawabku sembari memalingkan wajah.
“Ye..ganteng-ganteng pelit. Sebiji permen mah semua orang juga bisa,” Tuti mencibirkan bibirnya.
Dengan kesal aku menjawabnya, “Biarin! Dari pada kamu, nggak dapat sebutir permen pun dari Budi, cowok apaan tuh!” Balasku mencibir padanya.
“Iya deh sori.., trus gimana?” Akhirnya Tuti mengalah juga, toh percuma saja debat sama aku, aku pasti nggak mau kalah apalagi menyangkut Eka.
Aku mengernyitkan dahiku, “Mm! aku sekarang cuma lagi mikirin, ntar kalo dia ultah aku kasi’ apa ya…” Ujarku seraya mengelus-elus dagu.
“Kartu atau boneka?!”
“Ih.. emang dia cewek?! Lagian masa’ kartu mulu dari taon lalu..” Tolakku
“Trus?.... aha! Gimana kalau aksesoris?!”
“Nggak, aku nggak mau dia jadi anak metal, ntar image dia di depan bonyok aku jelek lagi.”
“Ya, aksesoris itu kan nggak harus metal. Sekedar kalung doang nggak bakal ngebuat image dia rusak kok…” Aku mengernyitkan dahi tanda berpikir, kemudian aku sependapat dengannya.
“Bagus juga ide kamu, ntar sore kamu temenin aku nyari tuh kalung ya?!”
“Ha???! Nggak salah tuh.. bukannya bulan Maret masih jauh?” Tanya Tuti kaget.
Aku memasang wajah memelas, “Iya, tapi bulan Maret kan cuman dua minggu lebih doang!”
“Iya deh iya..” Lagi-lagi Tuti mengalah, ah dia memang sahabat yang pengertian banget.
“Ma’kasih Tuti..” Sambutku senang, kupeluk tubuh kurusnya dengan erat.

Biarlah kusimpan…sampai nanti aku
Kan ada di sana, tenanglah dirimu….
Dalam keda..
“Hmm..!”
“Len!! Sori ya, gue nggak bisa nemenin loe nyari kalung buat Eka, soalnya gue nganterin nyokap belanja,” Kata Tuti dari seberang telingaku.
“Ya.. gimana dong?”
“Sori deh….”
“Nggak napa’ deh, laen kali’ aja, salam ya buat tante… bilangin aku minta bagi belanjanya..hi..hi..”
“Enak aje loe, gue aja dapat apa kagak nih upah nganter..,” Serunya pelit
“Makanya, sama ortu aja kamu peritungan.. udah gih, ntar tante lumutan lagi nungguin kamu..” Ujarku sembari menarik selimut lebih tinggi,
“Ya dah, met bobo ya..”
Aku menghempaskan tubuhku kembali ke kasur, tapi mataku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Akhirnya kuangkat selimut dan beranjak ke kamar mandi.

@ @ @

“Pagi Eka..” Sapaku saat melewati kelas Eka, dan seperti biasa dia hanya membalas dengan menaikkan alis dan tersenyum tipis. Aku meletakkan tasku ke meja dan membuka novel yang baru aku beli kemarin.
“Eh.. tau nggak, olimpiade kali ini bener-bener keren lho, hadiahnya lima puluh juta! Keren nggak?!” Seru Tia, yang duduk dibelakangku, si informan di kelasku.
“Beneran tuh?! Wow..keren banget!” Sahut Nina
“Iya, tapi yang pasti soalnya juga rumit, serumit nyusun serpihan jerami”
Tambah Tia lagi, aku tersenyum geli mendengarnya ya iyalah rumit, mana ada juga orang olimpiade di kasi’ soal mudah.
“Trus, yang ikut lombanya siapa dong?”
“Siapa lagi kalo bukan Eka, anak pentium delapan itu,”
“Sst! Ada Lena..” Tukas Nina berbisik, tapi masih jelas tertangkap oleh telingaku,
“Ah…elo kenapa nggak bilang kalo ada si Lena…” Aku berdiri meninggalkan kelas, menatap Eka lewat celah-celah seragam siswa-siswi yang lalu lalang di koridor kelas, terlihat dia begitu asik ngobrol bersama teman-temannya.

@ @ @
Kuraih kalung berbentuk kunci yang bergantung di dinding etalase toko aksesoris itu, aku langsung menyukai bentuknya. Talinya terbuat dari kain berwarna hitam, buahnya berbentuk kunci dari batu asli berwarna bening. Dengan riang aku menuju kearah kasir, dan tanpa ragu mengeluarkan uang dua ratus ribu dari dompetku. Saking senangnya aku mendapat kalung itu aku jadi kurang berhati-hati. Hampir saja aku terserempet motor yang melaju kencang dari arah kanan jalan, untungnya seorang bapak segera menarik lenganku.
“Jangan melangkah tanpa hati-hati nak.. bisa berakibat fatal,”
Aku mengangguk lemas, jantungku masih berdegup kencang karena kejadian tadi, “Iya pak, maaf kalau.. saya.. merepotkan, saya bakalan lebih hati-hati lagi..”
Bapak itu mengangguk kemudian melenggang pergi, dan aku pun melanjutkan langkahku tanpa berhenti mengelus dada dan bergumam, “Syukur…”

@ @ @

Aku sedang mengamati Eka ketika Tuti menghampiriku, “Eh, hari ini Eka berangkat olimpiade kan?” Tanyanya
“Mm.., aku pengen dia berhasil Ti, jadi.. dia bisa membuat orang tuanya bangga, dan pastinya aku tambah sayang sama dia.” Sahutku tanpa mengalihkan tatapanku pada sosok Eka.
“Wow! Romantis banget. Gimana kalungnya, udah dapet?”
“Seminggu yang lalu kale…!”
“He..eh!”
Eka menghampiriku, menatapku seperti biasa bicara lewat telepati, dia meminta dukunganku. Aku beranjak dan tersenyum lebar padanya, kutarik lengannya, kugenggam jemarinya yang kasar karena bekerja setiap hari di bengkel pamannya.
“Aku pasti akan selalu berdoa buat kamu, dan aku yakin kamu pasti pulang dengan kemenangan!” Ucapku memberi semangat dan dorongan padanya,
“Hm, sebenarnya gue..”
“Eka ayo cepat!! Bis mau berangkat!” Seru pak Agus memotong ucapan Eka
“Ma’kasih..” Sambungnya, kemudian berbalik. Namun, “Buat semuanya..” Lanjutnya
Aku menatap nanar padanya, hampir menangis karena tak kusangka dia berkata seperti itu, “Hm.. ya udah, ati-ati ya.., jangan lupa berdoa sebelum ngejawab soal,”
“Gue berangkat dulu ya..” Ujarnya melepaskan genggamanku. Saat genggaman itu terlepas aku merasa ringan dan kosong seperti kehilangan sesuatu yang begitu berarti, dan kesedihan tiba-tiba menyemarak di ruang hatiku. Padahal Eka tersenyum pasti padaku sebelum dia masuk ke dalam bis dan melambaikan tangannya.
“Loe kenapa?”
“Oh, nggak..”
“Kok sedih?” Tanya Tuti sembari memperhatikan mataku yang berkaca-kaca, aku cuma mengangkat bahu dan tersenyum simpul, kemudian pergi meninggalkan tuti yang masih belum ngeh dengan sikapku.

@ @ @

Aku setengah sadar saat kulihat Eka berdiri di serambi luar kamarku. Memandangku tajam. Aku jelas kaget, bukannya dia ikut olimpiade? Atau dia sudah pulang dan datang untuk memberitahuku kemenangannya? Tapi mengapa wajahnya sedingin itu?
“Eka?!” Panggilku memastikan bahwa itu Eka.
Eka tidak bergeming sedikit pun, aku melangkah mendekatinya, namun ternyata aku bermimpi.
Di ruang tengah papa sedang duduk santai bersama mama menonton televisi, hari ini tumben aku malas untuk keluar kamar. Tangan papa berhenti di udara saat melihat tayangan televisi, gelas kopi yang sedang dipegangnya bergetar pelan. Mama pun hanya bisa menutup mulutnya tanda tak percaya.
Kali ini aku yakin aku tidak bermimpi. Eka secara nyata berdiri disana, menatapku dengan dingin. Aku segera menghambur kearah jendela, namun kakiku tertahan saat secara lambat aku melihat aliran darah segar dari keningnya.
“Astaga Eka, loe terluka?!!” Seruku kaget. Dia berbalik dan pergi tanpa menungguku yang sedang berusaha membuka teralis jendela kamarku. Setelah tak berhasil aku pun dengan segera berlari keluar kamar. Saat itulah mama dan papa tersentak dari ketidakpercayaan mereka.
“Eka!!” Seruku tanpa melirik ke arah mama dan papa,
“Lena! Kamu kenapa?!” Tanya mama berusaha meraihku
“Kamu mengejar siapa?” Papa turut bertanya
“Eka pa.., apa mama sama papa nggak liat Eka? Dia terluka ma.. tapi dia pergi, kita harus nolongin dia ma..,pa..” Seruku sesak dengan tangisku yang tiba-tiba meledak,
“Pa..” Desis mama. Kupandangi wajah mama yang penuh kegalauan,
Permirsa, saat ini mayat para korban kecelakaan telah dibawa kerumah sakit Kasih Bunda, di perkirakan keluarga korban akan dijemput oleh pihak yang berrwajib….
Aku hanya bisa terduduk lemas ketika menyaksikan siapa yang menjadi korban kecelakaan itu, air mataku mengalir tanpa komando, nafasku tidak memburu seperti tadi, “Lena.. Eka sudah pergi,” Desis papa samar hampir tak terdengar,
Aku memandang papa lemah, sungguh aku tak bisa berkata-kata lagi. Ini semua terlalu mustahil, terlalu sulit untuk kupercaya. Aku hanya menunduk lemah, tak lagi bisa menangis, berkata, bahkan untuk bernafas.
“Lena, kamu harus ikhlas.. Eka sudah memenangi olimpiade itu, dia sudah melakukan kewajibannya nak..” Kata mama sambil mengelus rambutku.
“Hiks..hiks.. Lena harus rela ya ma, pa..apa Lena nggak boleh minta satu hal lagi sama Tuhan?..”
“Lena, sudah terlalu cukup banyak yang kita minta dari Tuhan. Biarlah Tuhan melakukan kehendakNya dalam kehidupan kita. Kamu harus rela, tegar menghadapi ini semua, ya..” Aku hanya menangis dipelukan mama, aku mengerti ini kehendak Tuhan, tapi aku merasa tidak rela, mengapa harus Eka?!

@ @ @

Kulingkarkan kalung yang dulu kubeli dileher Eka, itulah kalung yang ingin kuberikan untuknya dihari ulang tahunnya besok. Kukecup keningnya yang terbalut perban, dan kusentuh wajah pucatnya yang terlihat damai, kurapikan jasnya, kubelai rambutnya.
“Kamu kelihatan ganteng Ka, layaknya pengantin pria yang akan bersanding dipelaminan. Ka.. aku udah terima semuanya, ma’kasih buat kemenangan yang udah kamu beri buat aku, kamu bahagia ya..disana. Ka, satu keinginan aku, aku pengen kamu tahu, aku tetap dan selalu sayang sama kamu, dan kamu harus tetap ingat kenangan kita waktu di sekolah, ya..” Aku menggigit bibirku menahan tangisku, kugenggam jemari kakunya yang terlipat didadanya.
“Ka, kamu harus mengenang cinta aku, ingat rasa sayang aku sama kamu, dan teruslah hadir dimimpi dan khayalan aku, ingat cerita cinta kita yang tak pernah terungkap, pergilah.. bawa cinta aku, aku sayang kamu Ka..”
Sekali lagi kukecup keningnya, setelah meletakkan setangkai mawar putih di tangannya aku berdiri, mundur membiarkan Pendeta berdoa untuknya. Air mata tak bisa kubendung lagi saat peti itu tertutup, disitulah tubuh Eka berada. Aku mengiringi peti itu sampai ke pemakaman, semua itu kuikuti dengan hati yang hancur, yang kucoba bangun kembali dengan kekuatanku. Saat peti itu ditimbun aku hanya bisa menahan mataku untuk berhenti meneteskan air mata.
Aku terduduk di samping nisan, meletakkan mawar putih di depannya, di sampingnya terpajang foto Eka, tersenyum manis dan lembut. Air mataku keluar lagi, aku menangis untuk yang kesekian kalinya.

Biarlah kusimpan…. sampai nanti aku,
Kan ada di sana, tenanglah dirimu..
Dalam kedamaian..
Ingatlah cintaku.. kau tak terlihat lagi,
Namun cintamu abadi..
Kubiarkan hpku nyala, aku tak berniat mengangkatnya, karena mereka pasti akan memberi kalimat yang membuat Eka terasa jauh dariku. Aku menggenggam bingkai hitam yang dihiasi wajah polos dan cuek Eka sewaktu MOS, kupandangi matanya yang hitam, Eka seolah-olah nyata dihatiku, seakan-akan dia masih akan ada dan hadir menemaniku, aku menangis lagi.
Biarlah kusimpan…. Sampai nanti aku,
Kan ada di sana,tenanglah dirimu…
Dalam kedamaian….

Aya, februai’08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar